www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-02-2019

Bukanlah kebetulan belaka atau hanya pertimbangan artistik saja jika cover buku David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, menampilkan Ronald Reagan, Deng Xiao Ping, Paul Volker, dan Margaret Thatcher. Dan tentu bagi bangsa China, Deng Xiao Ping adalah sosok yang sangat dihormati sampai sekarang. Pada masa Deng-lah China menjungkirkan ‘kebrutalan sama-rasa-sama-rata’ untuk kemudian menapak jalan ‘kebrutalan pengejaran kepentingan diri’. Potensi kebrutalan dibalik -seperti dikatakan oleh Deng sendiri, ‘menjadi kaya itu adalah mulia’. Sama-sama menyimpan hal brutal, maka Deng tahu persis bahwa proses penjungkiran itu laksana ‘crossing the river by touching the stones’. Layaknya berjalan gagap-gagap menyeberangi sungai di atas batu-batu yang licin. Deng tidak dengan bahasa tubuh glécènan sambil pecingas-pecingis menerangkan bahwa ekonomi China akan meroket sebentar lagi karena Deng tahu bagaimana menghargai rakyatnya, dan kesulitan riil yang akan dihadapi rakyatnya. Sekaligus resikonya. Selain itu Deng sangat paham bagaimana menghormati ibu pertiwi dan para pendahulu, bahkan termasuk Ketua Mao.

Maka ‘masa penjungkiran’ yang ada di pundak Deng Xiao Ping-pun, meski melalui jalan tidak gampang, tidak terus menjadi ‘masa jungkir-balik’. Alasdair MacIntyre dalam After Virtue mengatakan bahwa manusia “is essentialy a story-telling animal”. Dan kalau kita mencari jejak digital dari bermacam quote Deng Xiao Ping maka bisa kita lihat jejak-jejak story-telling yang dibangun oleh Deng. Tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan oleh Thatcher seperti dikutip oleh David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism : ‘economics are the method, but the object is to change the soul’. Ungkapan MacIntyre seperti dikutip di atas sebenarnya juga mengandung arti, dalam story-telling seperti itu misalnya, dimanakah aku akan menempatkan diri untuk menjadi bagian story-telling itu dan bertindak-berfungsi? Atau menurut Abraham J Heschel dalam Who Is Man?: ‘teori tentang bintang-bintang tidak akan pernah menjadi bagian dari bintang-bintang itu, tetapi teori tentang manusia akan menjadi bagian dari manusia, dan menentukannya.’ Teori dalam hal ini bisa berbentuk sebagai story-telling.

Tentu tidak semudah membalik tangan dimana berharap story-telling akan menjadi bagian dari manusia dan menentukannya. Karena ketika story-telling itu adalah merupakan bagian dari ‘bangunan atas’ –kata Marx, ia akan berhadapan dengan sengit-nya melawan gejolak ‘bangunan dasar’, energi yang muncul dari kekuatan-kekuatan produksi. Maka baik Reagan, Thatcher, dan juga Deng Xiao Ping tentu amat sadar bahwa sebagai pemimpin itu haruslah mampu berperan dalam story-telling tersebut sebagai sekte-agung (famous sect), meminjam istilah Adam Smith. Artinya, sebagai pemimpin ia harus mempunyai self-command yang mumpuni sehingga tidak tergoda untuk begitu mudahnya masuk dalam perebutan kekayaan, misalnya. Baik bagi dirinya maupun teman-teman dekatnya. Dan dengan itulah salah satunya, story-telling yang meluncur darinya akan lebih berdaya. Lebih mempunyai ‘legitimasi’.

Maka bisa dikatakan, bahwa beberapa hal di atas itu erat terkait dengan ‘aktor dan narasi’nya. ‘Orde Jungkir Balik’ adalah jungkir-baliknya aktor dan narasinya. Itulah ketika secara vulgar muncul tanpa tèdèng-aling-aling lagi: maling teriak maling. Itulah juga ketika ‘the betrayal of intellectuals’ terjadi secara telanjang. Itulah ketika pemimpin ona-anu-ona-anu, dan sibuk dengan sudut pandang kamera. Itulah ketika bermacam akrobat mbélgèdès berfungsi sebagai tirai asap bagi ‘bangunan bawah’ yang tidak mau berubah: senyawa oligarki-pemburu rente. *** (08-02-2019)

Orde Jungkir Balik

gallery/david harvey
gallery/puppet slam