www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-02-2019

Artificial intelligence (AI) adalah ‘the ability of a digital computer or computer-controlled robot to perform tasks commonly associated with intelligent beings. [1] Kalau toh mau dibuat bermacam algoritma dalam super-komputer, salah satu tugas yang mungkin akan sulit dilaksanakan oleh AI tersebut adalah berfilsafat. Jika dipaksakan, maka kita harus hati-hati, jangan-jangan disitulah salah satu sumber utama pembusukan filsafat. Bayangkan jika upaya super keras dalam ‘otak-atik algoritma’ yang akan dipakai dalam super-komputer pembawa AI khusus filsafat itu dibiayai oleh orang super-kaya yang juga super berkepentingan mengamankan back-up politiknya, bisa-bisa terjadi sebuah analisis filsafat yang selalu ‘menguntungkan’ dirinya. Makanya, sampai sekarang kelihatannya belum ada pengembangan AI di bidang filsafat. Moga-moga saja tidak akan. Tak terbayangkan pembusukan filsafat yang terjadi jika itu ada.

Soal masalah filsafat dan ‘kebusukan’ sebenarnya telah terjadi lebih dari 2000 tahun lalu, paling tidak jika kaum Sophis bisa kita pandang juga sebagai ‘hal busuk’ yang dihadapi filsafat. Tetapi baik ‘hal busuk’ itu ada dalam diri maupun di luar diri, filsafat tidak akan pernah lepas dari itu karena yang berfilsafat itu adalah manusia. Manusia yang tidak hanya terdiri dari hal gemerlap tetapi juga hal bau busuk. Manusia yang tidak hanya terdiri dari rasio saja, tetapi juga hal kebanggaan diri dan nafsu-nafsunya.

Siapa yang bisa membatasi rasio? Tidak ada! Siapa yang selalu berusaha mengerdilkan rasio? Banyak! Komentator-komentator medioker yang sengaja dilepas dan menyebar ujar tidak bermutu di ruang publik itu, baik melalui lisannya atau body-language-nya, itulah salah satu upaya mengerdilkan rasio khalayak. Dan mungkin yang paling bertepuk tangan adalah si-penyandang dana, dan kepentingan yang selalu ada di kantong. Tetapi tidak sedikit juga yang sangat-sangat-sangat terganggu. Tentu kesangatan ketergangguan itu tidak mesti berujung pada pencekalan, pengkriminalan, bully, persekusi, atau dimasukkan ke penjara.Tidak, bahkan yang medioker pun tetap punya hak, seperti juga katakanlah hak filsafat untuk membantu menguak kebusukan dibalik itu semua. Termasuk juga di sini, ‘kebrutalan keingkaran atas janji’ yang begitu telanjangnya. Jungkir-baliknya argumen laksana seorang Sophis yang keranjingan. Filsafat tentu juga punya hak untuk membantu menguak kebusukan itu. Kebusukan dibalik mengapa hal ‘maling-teriak-maling’ tiba-tiba saja merebak laksana virus influenza di masa panca-roba. *** (13-02-2019)

 

[1] https://www.britannica.com/technology/artificial-intelligence

Filsafat dan Penguakan Kebusukan

gallery/mukidi

Pecas ndahé, dab

gallery/pemikir