www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-03-2019

Agak terlambat menulis ‘keprimeran politikal’ di ‘puncak’ tahun politik. Tetapi di satu sisi mungkin ada manfaatnya, paling tidak beberapa contoh yang dapat kita temui hari-hari ini bisa lebih fresh rasanya.

Abad 19 ada yang mengatakan sebagai abad liberalisme. Benih-benih liberalisme sebenarnya sudah ada jauh sebelum abad 19. Di abad 17 di masa kuat-kuatnya monarki-aristokrasi benih-benih itu nampak dari jawaban pedagang pasar ketika ‘menteri’-nya Raja Louis XIV Jean Baptiste Colbert bertanya: apa yang bisa kami perbuat untuk membantu anda? Dijawab oleh para pedagang: laissez-faire et laissez-passer, let us alone, leave us free and uncontrolled in our transaction and let goods pass freely.

Marxisme, dan berkembangnya nasionalisme abad 20 bisa dilihat sebagai respon-refleksi dari semakin ugal-ugalannya liberalisme. Perang Dunia akhirnya memberikan rem penuh tragedi bagi liberalisme, dan pasca Perang Dunia berkembanglah apa yang disebut sebagai welfare state. Tetapi di penghujung dekade 1970, setelah terus mengusik paradigma welfare state sejak awal tahun 1950-an akhirnya liberalisme mengepakkan sayap lagi dengan nama baru: neo-liberalisme. Dan bukan welfare state lagi paradigmanya, tetapi minimal state, bahkan ultra minimal state. Sampai sekarang.

Ilustrasi di atas untuk menggambarkan antara dua keprimeran, ‘keprimeran politikal’ dan ‘keprimeran ekonomikal’. Atau dalam kata-kata Karl Polanyi dalam The Great Transformation yang mengintrodusir istilah gerakan ganda atau ‘double movement’, katanya: The one was the principle of economic liberalism, aiming at the establishment of a self-regulating market, relying on the support of trading classes, and using largely laissez-faire and free trade as its methods; the other was the principle of social protection aiming at the conservation of man and nature as well as productive organization, relying on the varying support of those most immediately affected by the deleterious action of the market –primarily, but not exclusively, the working and landed classes – and using protective legislation, restrictive associations, and other instruments of interventions as its method.” [i]

Pembedaan antara ‘keprimeran politikal’ dan ‘keprimeran ekonomikal’ tetaplah harus hati-hati dalam melihatnya, sebab apa yang disebut sebagai ‘keprimeran ekonomikal’ itu dalam sejarah tetaplah tidak bisa dipisahkan dengan keputusan-keputusan politik. Misal, meski sejak sekitar tahun 1950-an Friedrich von Hayek dan koleganya di MPS  terus mengusik walfare state dengan ide-ide yang sekarang disebut sebagai neo-liberalisme itu, apakah neo-liberalisme akan merebak seperti sekarang ini jika Thatcher, Reagan dan Deng Xiao Ping serta Paul Volker [ii] tidak di puncak kekuasaannya masing-masing? Apakah Pak Harto di tahun 1998 akan tergeser jika gelombang neo-liberalisme itu tidak merasa terganggu terhadap ‘mbegegeg’-nya, tak mau bergesernya Pak Harto? [iii] Dan banyak contoh lagi. Machiavelli lima ratus tahun lalu telah mengingatkan jika situasi berubah maka cara-cara-pun musti berubah.[iv] Atau dalam kata-kata si Bung: “Berideologi yang tidak ikut dengan tendenz-nya pergaulan hidup [v] ia akan jatuh pada jurusan kenang-kenangan belaka.

Dimana ‘titik pertempuran’ antara ‘keprimeran politikal’ dan ‘keprimeran ekonomikal’ itu sebenarnya terjadi? Baik politik maupun ekonomi adalah hal menyangkut manusia, maka tidak lain ‘titik pertempuran’ paling sengit adalah pada manusia itu sendiri. Tidak lainnya. Jika melihat beberapa hal di atas maka sebenarnya bisa dilihat perebutan sebenarnya adalah perebutan pada posisi ‘filsuf raja’, meminjam term Platon. Bukannya seorang ahli filsafat yang akan menjadi raja jaman now, tetapi perebutan kepemimpinan dengan kualifikasi yang sungguh paham menghayati apa yang mau dicapai melalui jalan ‘keprimeran politikal’ dan ‘keprimeran ekonomikal’ itu. Di republik dimana distorsi ‘keprimeran ekonomikal’ ini dihayati sebagai ‘keprimeran dominasi di bidang ekonomi’ oleh segelintir orang, dan terutama para pelaku oligarki-pemburu rente, ‘keprimeran ekonomikal’ dalam praktek kemudian berarti ‘keprimeran kekuatan uang’.

Pergeseran ‘keprimeran ekonomikal’ ke ‘keprimeran kekuatan uang’ ini tidaklah mengubah ‘titik pertempuran’ yaitu tetap pada manusianya. Bagi kubu ‘keprimeran kekuatan uang’, seorang Filsuf Raja jelas tetap bukan pilihan karena kualifikasi seorang Filsuf Raja pada dirinya akan berhadapan langsung dengan kekuatan uang atau paling tidak dia tidak akan mudah untuk dikooptasi oleh kekuatan uang. Bagi ‘keprimeran ekonomikal’ seorang Filsuf Raja diperlukan untuk mengambil keputusan yang mendukung seperti kutipan Karl Polanyi bagian pertama di atas (‘the one’). Dan Filsuf Raja itu mengambil keputusan tersebut pertama-tama karena meyakini bahwa itu adalah terbaik menurutnya, dan bukan karena kekuatan uang. Jadi tetap ada kehormatan di situ.

Hal terakhir di atas itulah yang membedakan antara ‘keprimeran kekuatan uang’ dan ‘keprimeran ekonomikal’ (termasuk juga ‘keprimeran politikal’ sebenarnya), masalah kehormatan. Akan menjadi lebih jelas jika kita meminjam ‘tripartit jiwa Platon’ untuk melihat lebih jauh masalah ini.

Seorang Filsuf Raja akan didominasi oleh kekuatan logistikon (rasio-kebijaksanaan), dengan juga mampu menghayati hal-hal baik yang berkembang dalam thumos dan epithumia. Logistikon yang bersemayam di kepala itu akan lebih mudah ‘bersekutu’ dengan thumos, bagian jiwa yang digambarkan Platon bersemayam di dada dan terkait dengan semangat, harga diri, ataupun kehormatan. Sedang epithumia yang menggambarkan nafsu-nafsu, mulai dari makan, seks hingga kekayaan/uang, berada lebih jauh dari kepala, dan digambarkan Platon ada di perut ke bawah. Bagi pusat studi yang ‘mainan’-nya power, kesimpulan dari ‘strategic-studies’-nya bisa sampai pada kesimpulan bahwa untuk memaksimalkan kekuatan uang maka tidak bisa lain sasaran utamanya bukanlah si-Filsuf Raja, tetapi sekutu si-Filsuf Raja yang dekat dengannya, yaitu si-thumos: lugasnya, kehormatan.

Kehormatan inilah kemudian menjadi salah satu bidikan utamanya. Kepada khalayak kemudian diyakinkan bahwa yang namanya politik itu ya bisa tanpa kehormatan sama sekali. Benih ini perlahan disebar melalui bermacam aksi ‘kutu-loncat’, atau ujar-pethakilan ‘para binaan’ yang membuat kita sungguh sangat prihatin. Wira-wiri jumpalitan di ruang publik selama bertahun dengan didukung oleh media mainstream. Selain itu, seperti membonceng pendapat Manuel Castells soal ‘politik skandal’, pengarsipan laku yang mencederai kehormatan dilakukan sebaik-baiknya dan serapi-rapinya layaknya menyimpan amunisi di gudang logistik. Dan dengan itu pula kehormatan kemudian bisa semakin mudah ‘dibunuh karakternya’, bisa semakin mudah dipermainkan oleh seseorang yang tersandera kasus, misalnya. Cerdik pandai dan bahkan beberapa pemuka agama bisa kemudian melakukan salto-mortale dengan kesadaran penuh. Ketika benteng kehormatan itu menjadi retak-rapuh maka kekuatan uang bisa diharapkan menang telak ketika ia berhadapan dengan ‘si-filsuf raja’ yang sudah compang-camping itu.

Untuk memperkuat beroperasinya kekuatan uang maka perlahan tapi pasti ranah (field) politik terus dipompa menjadi semakin mahal. Bermacam argumentasi bisa dibeberkan terkait dengan pergeseran dari proporsional tertutup menjadi terbuka sampai pada nyoblos nama atau foto kontestan, tetapi jangan pernah dilupakan salah satu konsekuensi logisnya, politik menjadi semakin mahal.

Maka jika kita serius untuk membangun politik yang sehat di republik, salah dua hal yang krusial: kembalikan hal kehormatan dan usahakan politik menjadi lebih murah biayanya. Jika tidak, ‘keprimeran kekuatan uang’ itu akan terus menghantui republik. *** (07-02-2019)

 

[i] Karl Polanyi, The Great Transformation, Beacon Press, 2001, hlm. 138-139

[ii] Lihat David Harvey, A Brief History of Neoliberalism

[iii] Lihat juga https://www.pergerakankebangsaan.com/180-Politik-Pintu-Terbuka/

[iv] “Karena itu, saya mengambil kesimpulan bahwa dewi fortuna atau nasib mujur dapat berubah-rubah dan orang yang tetap memegang teguh cara-cara mereka, akan berhasil selama cara-cara ini sesuai dengan situasi, tetapi kalau cara-cara itu berlawanan (dengan situasi yang berkembang), maka mereka akan mengalami kegagalan.” (Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. 104)

[v] Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, hlm. 186

Keprimeran Politikal

gallery/pinokio2