www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-03-2019

Sudah begitu berulangnya kutu-kutu loncat itu ‘mendisiplinkan’ imajinasi kita soal politik. Tidak ada alasan yang mendasar mengapa harus loncat, tiba-tiba saja dengan entengnya loncat. Bagi Hannah Arendt, politik di ruang publik itu pertama-tama adalah soal komunikasi. Tidak hanya gagal berkomunikasi tetapi loncatnya para kutu itu sungguh bersamaan dengan menutup diri dalam hal komunikasi. Atau lihatlah bagaimana dulu selalu siap sedia melantunkan puja-puji terhadap si Z misalnya, sekarang tanpa ba-bi-bu balik kanan melantunkan sindiran tajam ke Z demi kuatnya jilatan ke yang lain. Dan kita sekali lagi rasanya sedang ‘didisiplinkan’ imajinasi kita soal politik. Intinya, kita sedang ‘dipaksa’ untuk menghayati politik dalam praktek sebagai yang tanpa kehormatan.

Bukannya kita tidak merasa terusik dengan terpinggirnya kehormatan di ranah politik itu. Kita sebagai khalayak sebenarnya gundah melihat jumpalitan kelas medioker itu. Jauh di lubuk hati kita sebenarnya sangat berkeinginan terbangunnya politik yang tidak meminggirkan hal kehormatan. Di tengah-tengah kegalauan itu tiba-tiba saja beberapa waktu dulu, setelah terpilih menjadi Guberbur DKI, Anies mengatakan ia tidak mungkin mengkhianati Prabowo. Sungguh ini bukan pernyataan biasa-biasa saja. Anies tiba-tiba saja seakan menjadi seorang ‘Rocky Gerung’ dalam praktek. Kalau si-Rocky membuka kabut ‘akal sehat’, Anies sedang memaparkan ‘praktek sehat’.

Kalau memakai segitiga-hasratnya Rene Girard,[1] maka banyak dari kita ingin atau mempunyai hasrat akan terbangunnya ‘praktek politik yang sehat’. Tetapi hasrat itu selalu berputar-putar saja dan seakan membentuk sebuah ‘spiral kegundahan’ yang semakin mengganggu. Tiba-tiba saja, pernyataan Anies itu muncul, dan dengan tiba-tiba saja Anies menjadi ‘model’ dalam segitiga-hasratnya Rene Girad itu. Maka lengkaplah segitiga itu, ada subyek yang menghasrati (S, kita sebagai khalayak), dan obyek (O, ‘praktek politik yang sehat’) dan model (dalam hal ini Anies).

Cobalah kita lihat lagi misalnya, soal janji kampanye dan realisasinya. Bagi pengikut Macviavelli vulgar, antara janji dan menepati janji itu adalah dua hal yang amat berbeda.[2] Di media sosial bertebaran bermacam janji-janji Jokowi saat pilpres 2014, dan bagaimana realisasinya. Dan tiba-tiba saja, Anies sebagai Gubenur DKI nampak sekali usaha-usahanya dalam menepati janji-janji kampanye. Satu-per-satu janji-janji saat kampanye direalisasi. Kembali di sini, ‘pendisiplinan’ imajinasi 'politik tanpa kehormatan' itu dikoreksi dalam praktek oleh Anies.

Dan terakhir sebagai contoh, bagaimana  Anies memberikan perhargaan kepada seluruh yang terlibat dalam proyek MRT. Mulai dari para pekerjanya sampai dengan pendahulu-pendahulu. Tidak over-claim, dan penuh dengan kehormatan. Dan justru karena tidak over-claim itulah ‘akal sehat’ malah bisa dengan tulus memberikan apresiasi. Hasrat akan terbangunnya ‘praktek politik yang sehat’-pun sekali lagi mendapatkan model-nya.

Siapa yang paling dirugikan dengan berkembangnya ‘praktek politik yang sehat’, yaitu praktek politik dengan tidak meminggirkan hal kehormatan ini? Kiranya yang paling dirugikan adalah para oligark-pemburu rente itu. Hasrat kaya dengan rute cepat melalui sogok-menyogok, jual pengaruh dan sejenisnya akan dilawan oleh kehormatan. Oleh self-command yang kuat. Juga oleh imajinasi kecintaan akan republik yang jauh dari gaya sok-sok-an.

Berbeda dengan tulisan sebelumnya, Kambing Hitam Itu (lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/029-Kambing-Hitam-Itu/) dimana sebagai obyek adalah Jokowi, Anies nampak lebih sebagai model daripada obyek. Obyeknya adalah ‘praktek politik yang sehat’.

Dalam perjalanan kepresidenan, nampaknya Jokowi tidak beranjak dari obyek ke model, dan ini kelihatan misalnya dari berbagai ‘sesi fotografi’ dan sejenisnya. Khalayak melalui hadirnya berbagai model, entah itu model ‘bayaran’ atau melalui media terutama media mainstream, selalu saja diajak untuk berhasrat pada Jokowi. Maka wajarlah jika diam-diam dalam diri khalayak berkembang ‘spiral kegundahan’ seperti disebut di atas. Kegundangan atau kerinduan atau hasrat akan terbangunnya ‘praktek politik yang sehat’ itu. Anies -sadar atau tidak, mengisi celah itu. Dan, untunglah kita semua!

Maka tidak heran pula, demi selalu menjaga hasrat tersebut, seperti pada tulisan terdahulu (Kambing Hitam Itu), narasi-narasi keradikalan misalnya, seakan tidak putus didendangkan. Dendang untuk sebuah kambing hitam. Sedang segitiga hasrat lain , yaitu dimana S (subyek, kita khalayak), M (model, dalam hal ini Anies) dan O (obyek, dalam hal ini ‘praktek politik yang sehat) tentu juga akan menghadirkan ‘kambing hitam’-nya sendiri. Apa atau siapakah kambing hitam itu? Itulah ketika Eep Saefullah Fatah mengatakan bahwa ketika petahana elektabilitasnya di bawah 50%, rakyat sedang menghukumnya. *** (25-03-2019)

 

[1] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/029-Kambing-Hitam-Itu/

[2] Lihat juga salah satunya: https://www.pergerakankebangsaan.com/118-Kata-Machiavelli/

Anies: 'Rocky Dalam Praktek'

gallery/jokowi-topeng