www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

29-03-2019

Kalau ditanya atas dasar apa lembaga survei melaksanakan surveinya maka akan dijawab, berdasarkan sain, ilmu pengatahuan. Metode-metode yang bisa dipertanggungjawabkan di depan mahkamah sain. Tetapi meski begitu kadang kita merasa bahwa sain yang dengannya survei itu dilakukan kadang justru serasa memutar-balikkan fakta, atau jadi bahan bagi kaum Sophis, atau untuk melegitimasi sesuatu, dan bahkan kadang serasa sebagai alat pukul. Bayangan kita survei-survei itu dapat terintegrasi dalam memajukan demokrasi kadang-kadang menemui jalan terjal berbatu, bahkan kemudian melukai kaki-kaki demokrasi.

Meski tidak serta merta bisa disamakan dengan hal di atas, kita juga bisa bertanya, atas dasar apakah penyelenggara negara itu menjalankan republik? Atau dulu ketika founding fathers bertemu untuk bersepakat, ditanyakan: atas dasar apakah negara yang merdeka nantinya ini akan berjalan? Akan sungguh lebih panjang jika pertanyaannya: atas dasar apakah nantinya orang-orang-per-individu-individu itu akan menjalani hidupnya. Sulit sekali membayangkan karena beragamnya faktor yang mempengaruhi orang menjalankan hidupnya. Ada adat-istiadat, ada agama, bermacam budaya, sopan santun, ada pepatah-petitih, dan bermacam lagi. Dari bermacam itu akhirnya ada semangat-semangat yang sama, dan kesamaan semangat itulah kemudian diinginkan sebagai dasar bagi negara dalam melaksanakan tugasnya. Kalau toh nantinya ada individu-individu atau kelompok ingin mengembangkan hidup berdasarkan hal-hal tersebut tentu tidak dilarang, sebab bagaimanapun juga ada unsur-unsur dalam kesepakatan founding fathers itu nyata ada dalam hidup pribadi maupun sosialnya. Tetapi jelas hidup pribadi dan sosialnya akan lebih luas dari kesepakatan tersebut.

Itulah sebenarnya kalau kita membaca Pembukaan UUD 1945, terutama alinea ke-4 dimana sila-sila Pancasila tertulis di dalamnya. Sila-sila yang menjadi dasar-pondasi ketika pemerintahan yang terbentuk akan menjalankan negara. Menjalankan negara dalam hal melindungi segenap bangsa sampai dengan ikut melaksanakan ketertiban dunia.[1] Jadi pertama-tama jika ada pertanyaan, siapa yang utama dalam menjalankan Pancasila itu? Jawabnya jelas: penyelenggara negara.

Dalam menyelenggarakan negara tentu akan melalui kebijakan dan eksekusinya. kebijakan-kebijakan itu akan menerus terutama sebagai bermacam produk hukum, dan karena Pancasila adalah sebagai dasar dalam menjalankan negara maka produk-produk hukum itu juga jelas harus mengacu pada semangat-semangat yang ada dalam Pancasila. Jadi bisa dikatakan di sini, sejauh masyarakat itu taat terhadap hukum maka sebenarnya ia bisa dikatakan sudah ‘melaksanakan’ Pancasila.

Apakah cukup dengan taat hukum terus sudah bisa dikatakan menjalankan Pancasila? Ya, tentu itu sudah cukup. Tetapi jika ada upaya lebih adalah lebih baik, yaitu menghayati Pancasila sebagai katakanlah ‘ideologi kritis’. Dengan Pancasila rakyat mengawasi penyelenggara negara. Penghayatan ‘lebih’ ini biasanya akan muncul ketika rasa ketidak-adilan mulai mengusik, baik dalam kebijakan yang mewujud dalam produk hukum maupun perilaku penyelenggara negara. Maka disinilah sebenarnya Pancasila harus ‘membuka diri’ dengan bermacam dialog. Atau penyelenggara negara harus membuka diri terhadap dialog terlebih jika dialog itu didorong oleh suasana kebatinan tentang ketidak-adilan.

Repotnya adalah ketika bermacam distorsi menghampiri pelaksanaan Pancasila oleh penyelenggara negara. Pancasila sendiri tidak bisa melaksanakan sila-silanya sendiri, ia hanya bisa kita hayati ketika penyelenggara negara ‘beraksi’. Seperti halnya sain dalam survei, Pancasila bisa berujung dalam konstruksi ‘tirai asap’ terhadap fakta atau realitas, dan kita ‘dipaksa’ untuk menghayati realitas yang sudah diputar-balik dalam bermacam skalanya. Atau bahkan ujungnya Pancasila hanya sebagai alat legitimasi belaka. Dan bahkan sebagai alat pukul. *** (29-03-2019)

 

[1] Selengkapnya lihat pembukaan UUD 1945 alinea 4

Pancasila

Bukan Alat Pukul

gallery/pancasila
gallery/hammer