www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

31-03-2019

ABS, Asal Bapak Senang tidak jauh dari APB (Atas Petunjuk Bapak) di orde lalu. Tetapi usia ABS itu sebenarnya hampir sama dengan usia manusia sendiri. Kalau itu sebuah profesi, usianya ada di sekitar usia pelacuran. Jadi ABS ini termasuk ‘profesi’ tertua. Machiavelli-pun tidak ketinggalan mengulas juga bagaimana harus menghadapi si-penjilat ini, nama lain dari ABS. Mengapa ABS ini bisa dikatakan setua umur manusia?

Hasrat adalah hal esensial manusia, dan ABS ini sebenarnya juga ada dalam pusaran hasrat. Pusaran hasrat yang bisa-bisa saja mewujud pada salah satu laku mbèlgèdès itu, ABS. Dari Machiavelli yang juga mengulas soal hal ‘jilat-menjilat’ ini kita bisa melihat bahwa itu selalu melibatkan dua pihak, ‘yang dijilat’ dan ‘si-penjilat’. Dan Machiavelli lebih menekankan bagaimana ‘yang dijilat’ itu harus bertindak, dalam hal ini Sang Pangeran. Bertindak atau bersikap terhadap si-penjilat-penjilat.

Ada pelajaran berharga jika kita mencermati dialog antara Aa Gym dan Sandiaga Uno, akhir Oktober tahun lalu. Aa Gym tanya ke Sandi: “Kan dikasih dunia sama Allah, bagaimana mengendalikan diri?” Jawab Sandi: “Kalau diberikan dunia terus terang manusia suka biasa lupa. Diberikan begitu banyak nikmat terus sombong. Saya juga pernah merasakan sombong.” Meski begitu, Sandiaga melanjutkan, dia memiliki resep untuk mengingatkan dirinya sendiri agar tidak takabur. Kata dia, caranya adalah bersilahturahmi.[1] Jika kita telisik lebih dalam, dialog di atas adalah soal hasrat, gejolak hasrat. Hasrat yang sungguh memang selalu bergejolak.

Marcus Aurelius adalah Kaisar Roma antara tahun 161-180. Selain seorang kaisar ia adalah juga seorang filsuf Stoa terkemuka. Aliran Stoa berkembang di atas pengakuan adanya gejolak hasrat yang tidak mungkin diingkari. Bermacam laku dan pendekatan dikembangkan dalam mengendalikan hasrat ini. Maka disadari pula akan tidak banyak yang akan berhasil dalam laku ini. Hanya Sang-Bijak (The Sage) yang akan mampu membaca dan menguasai hasrat. Dan bahkan bagi seorang Marcus Aurelius yang seorang filsuf Stoa, ketika menjadi kaisar ia masih harus dikelilingi The Sage yang lain, sahabat-sahabatnya antara lain, Junius Rusticus, Claudius Maximus, Cinna Catulus. Tidak hanya kaum Stois, tetapi juga Claudius Severus seorang pengikut Aristoteles,[2] dan masih beberapa lagi.

Beberapa tahun terakhir kita melihat atau merasakan bagaimana orang-orang sekitar pusat kekuasaan menampakkan dirinya. Ada yang menampakkan dirinya mampu mengurusi bermacam hal, termasuk di luar kewenangannya, atau yang kecil-kecil saja, soal penampilan diri misalnya. Bermacam orang di sekitar pusat kekuasaan itu, tetapi beberapa tahun terakhir ini hampir semua bisa dikatakan sebagai golongan the fools dalam konteks filsafat Stoa.

Maka jika kita bicara ABS sebenarnya kita bicara tentang orang-orang sekitar. Orang-orang sekitar yang semestinya tidak hanya mampu memberikan pertimbangan atau rekan diskusi, tetapi justru terpenting adalah yang juga berani mengingatkan. Yang di pusat kekuasaan mestinya juga tidak hanya mampu membaca dan menguasai hasrat, tetapi juga membuka diri untuk masuk dalam gelanggang hasrat vs hasrat. Gelanggang kecil dimana para ‘sahabat-sahabat’-nya selalu siap meng-counter ketika gejolak hasrat sudah semakin keras memojokkan. Seperti Marcus Aurelius dikelilingi sahabat-sahabat Stoa-nya yang siap meng-counter gejolak hasrat sang Kaisar. Dan hasilnya? Di era Pax Romana di bawah Marcus Aurelius, Eropa mengalami masa-masa stabilnya. *** (31-03-2019)

 

[1] lihat, https://www.pergerakankebangsaan.com/151-Dua-Macam-Respon/

[2] Pierre Hadot, The Inner Citadel, The Meditations of Marcus Aurelius, Trnsl. Michael Chase, Harvard University Press, 1998, hlm. 19

Asal Bapak/Ibu Senang, Behind The Scene

gallery/marcus aurelius

Marcus Aurelius