www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-04-2019

Saat mengikuti acara sekolahan anak, ada orang tua murid membagi apa yang sudah dialami selama menyekolahkan anaknya. Ia bercerita bagaimana setelah anaknya dipindah ke sekolah tersebut menjadi lebih berkembang. Menjadi lebih ‘ceria’ dalam sekolah, dan menemukan hal yang disukainya, serta akhirnya menerus ke jenjang perguruan tinggi. Dan di perguruan tinggi tersebut masuk ke jurusan yang disukai itu, dan berprestasi! Padahal menilik ‘prestasi’ di sekolah sebelumnya (sebelum pindah) ia pesimis, hanya berpikir setelah lulus SMA nanti cari kerja saja.

Menilik cerita orang tua murid tersebut ada hal penting: soal potensi, soal bakat. Bakat dan potensi anak yang berkembang dalam passion-nya si anak. Bakat dan potensi yang memperoleh momentumnya dalam ruang dan waktu yang tepat. Bagi si-anak, dan terlebih bagi kita si-orang tua, ada yang perlu diperhatikan lebih terkait dengan potensi (anak) ini, terutama untuk bisa menjawab, apa hal mendasar supaya potensi anak itu berkembang? Tentu banyak hal yang perlu diperhatikan di sini, tetapi pada kesempatan ini akan lebih disorot tentang satu hal : rasa aman.

Sekolah yang kami hadiri pertemuan tersebut adalah sekolah ‘tanpa-ranking-rankingan’ bahkan tidak mengenal ‘nunggak’ atau tinggal kelas, dengan mata pelajaran tidak sebanyak sekolah umum lainnya karena lebih memakai kurikulum Cambridge dengan penyesuaian. Saya perhatikan, mata pelajaran matematika misalnya, tidaklah serumit pelajaran matematika sekolah kurikulum nasional. Ulangan umum semesteran tetap ada tetapi siswa cenderung tidak tegang menghadapinya sebab hampir setiap hari selalu ada nilai yang muncul, dan dimungkinkan ada perbaikan. Artinya, paradigma proses menjadi paradigma dominan. Satu kelas sekolah mengambil kebijakan maksimal berisi sekitar 12 anak, dan dalam satu kelasnya kadang ‘ditongkrongi’ oleh dua guru. Soal rambut mau di-cat merah-kuning-hijau, silahkan. Tiap hari Jum’at pakaian bebas, mau pakai celana panjang atau pendek, kaos, baju, silahkan. Sedikit gambaran ini pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa ketika anak didik masuk sekolah ia masuk dengan rasa aman. Secure. Biaya menjadi tidak murah lagi? Ya, dan memang harus disadari, kadang rasa aman itu tidaklah murah. Pendidikan yang memberikan rasa aman pada anak didik itu memang juga tidak murah. Makanya dialokasikan 20% APBN untuk pendidikan.

Cobalah kita bayangkan istilah job security dalam dunia ketenaga-kerjaan. Apa yang ingin dicapai terkait rasa aman dalam pekerjaan ini? Rasa aman dalam penghasilan terutama terkait dengan masa depan? Kiranya yang ingin dicapai adalah supaya setiap pekerja, atau keluarganya dapat mengembangkan potensi-potensi manusiawinya. Dan jangan bayangkan soal job security ini sebagai hal yang ‘murah’, bandingkan dengan merebaknya paradigma outsourcing itu misalnya.

Begitu mendasarnya rasa aman ini sehingga bisa-bisa ada sebagian yang ingin ‘bermain-main’ dengannya. “Kalau kau tak pilih aku, awas nanti anu lho ....” atau, “awas nanti kalau dia jadi akan anu lho ....”, dan seterusnya. Rasa aman menjadi lebih dari sekedar ‘dagangan politik’ tetapi yang sungguh mbèlgédés itu: rasa aman menjadi ‘alat penekan’. Menjadi alat untuk menakut-nakuti. Atau contoh yang lebih jauh lagi misal, Pancasila yang memberikan rasa aman bagi khalayak karena negara akan berjalan atas dasarnya, malah menjadi alat pukul[1] yang menakutkan, menebar ke-tidak-rasa-aman-an.

Maka terkait dengan rasa aman ini dapat dibedakan menjadi dua, yang satu ingin membangun rasa aman dengan serius mengurangi bermacam ‘ketakutan’, satunya lagi ingin memainkan rasa aman dengan ‘serius’ membangun bermacam ‘ketakutan’. Bagi kita khalayak, jelas yang terakhir itu akan menghambat kita untuk memaksimalkan potensi bangsa. Dan jika itu kemudian dikaitkan dengan kepada siapa kita harus memilih dalam pemilihan, jelas yang menebar ketakutan akan bermacam hal itu: jangan dipilih.

Tetapi kita harus hati-hati bicara soal ‘ketakutan’ dan rasa aman ini. Takut, sama halnya dengan rasa sakit misalnya, adalah salah satu bentuk atau bagian dari ‘survival’. Bayangkan jika kita tidak punya rasa takut maka kebutuhan akan rasa aman-pun mungkin tidak perlu lagi. Maka keterarahan akan rasa takut ini-pun menjadi penting dalam hidup bersama. Bahkan Machiavelli-pun membahas ini pula.[2] Maka mem-proyeksi-kan dinamika bernegara dan berbangsa dalam panggung internasional, seperti dikatakan oleh Richard Robinson[3] adalah penting dalam konteks membangun rasa aman dalam negeri. Bukan masalah mengalihkan isu atau mencari ‘musuh bersama’ seperti misal ‘ganyang-sana-ganyang-sini’, tetapi memang senyatanya ancaman dalam berbagai bentuk dan skalanya itu memang ada. Atau kalau mau memakai beberapa hal yang sudah diungkap di atas, keinginan besar untuk membangun rasa aman dalam negeri itu diharapkan nantinya ini akan mendorong bermacam potensi anak bangsa menjadi berkembang maksimal. Dan dengan berkembangnya bermacam potensi itu, bukankah kita menjadi lebih mampu menghadapi ancaman dari luar itu? *** (14-04-2019)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/253-Pancasila-Bukan-Alat-Pukul/

[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/238-Machiavelli-dan-Benteng-nya/

[3] Ibid

Rasa Aman Itu

gallery/2019_ganti_3