www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-04-2019

Jika 9 tahun lalu anak kita masuk SMP, maka sekarang mestinya sudah di perguruan tinggi. Atau sudah bekerja. Jika kita merunut perjalanan 9 tahun itu banyak hal dapat sebagai pembelajaran kita sebagai orang tua. Dalam perjalanan republik, 9 tahun terakhir banyak hal bisa menjadi pembelajaran juga, terlebih kita sebagai warga negara.

Apa yang utama kita pelajari sebagai warga negara? Rentang 9 tahun itu bisa kita bagi dua, masing-masing empat setengah tahun. Dan bisa dikatakan di sini misalnya, empat setengah tahun pertama kita bisa melihat bagaimana seorang yang ingin merebut hegemonia itu ia dkk bisa melakukan apa saja. Sekali lagi, apa saja. Empat setengah tahun kedua kita melihat bagaimana hegemonia itu bergeser ke arche. Terlebih ketika masuk ‘tahun politik’ atau kalau mau lebih terasa, akhir-akhir ini. Intinya adalah kita bisa belajar bagaimana hal merebut kekuasaan itu bisa sangat berbeda dengan hal melaksanakan kekuasaan.

Atau kalau kita luaskan imajinasi kita dengan bantuan bermacam teori-teori politik, secara sederhana kita bisa belajar banyak soal politik ‘jalur-lembah-hitam’ di 9 tahun terakhir ini. Terutama jika kita buat sebuah ‘peta-jalan’ dimana rute awalnya adalah penampakan dari gegap-gempitanya mobil Esemka itu. Bermacam telikungan licik yang memuncak pada awal dari empat-setengah tahun kedua. Yaitu ketika janji-janji kampanye mulai berbaris satu-per-satu untuk diingkari. Dalam banyak hal, 9 tahun terakhir ini kita bisa belajar banyak tentang ‘tahu-batas’ dan ‘tidak-tahu-batas’. Selain soal ‘tahu-batas’ dan ‘tidak-tahu-batas’ kita juga bisa belajar soal ‘aksi-reaksi’. Atau sebenarnya juga soal ‘tesis-anti tesis’.

Dari ‘lembah hitam’ kita sudah merasakan bagaimana kemudian ‘aksi-aksi’-nya mewujud. Dan ke-tidak-tahu-batas-nya itu kemudian dapat kita rasakan sebagai seakan selalu mengingkari adanya realitas kemampuan manusiawi untuk bekerja sama dimana itu berasal dari pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik. Sebuah titik tolak bermacam teori ‘dari-lembah-terang’. Kita bisa melihat bermacam momentum di 9 tahun terakhir ini yang bisa menggambarkan aksi-reaksi ini, atau mewujudnya spiral tesis-anti tesis ini.

Aksi yang cenderung keblinger mungkin kata yang lebih tepat. Mem-postulatkan seakan khalayak itu bodoh dan mudah disogok dan lupa bahwa cacing-pun akan menggeliat jika terinjak. Mengapa menjadi keblinger, ‘tak-tahu-batas’ itu? Cobalah kita berusaha meraba orang-orang di sekitar kekuasaan itu. Yang ‘sederhana’ saja misalnya, soal bagaimana semestinya seorang petinggi itu berucap. Jejak digital bisa kita panggil dalam sekejap bagaimana beberapa petinggi itu berucap begitu menohoknya ketika bicara soal nasib rakyat. Jelas ini bukan sekedar soal ucap-mengucap saja, tetapi adalah juga soal ‘batas’ dan ‘tidak-tahu-batas’. Bagi yang paham soal ‘batas’, ia akan menata diri dalam ucapan, terlebih jika itu menyangkut nasib rakyat. Atau lihat juga jejak digital bagaimana seorang presiden menerangkan masalah ekonomi bangsa dengan gerak tubuh glécénan. Atau seorang Menko yang ngurusi bermacam hal di luar kewenangannya. Selfa-selfi di daerah bencana. Dan banyaaak lagi yang mengindikasikan bahwa yang disekitar kekuasaan itu cenderung tidak tahu batas. Disekitar kekuasaan itu berkumpul banyak orang yang tidak tahu batas. Nyaris tanpa hadirnya seorang pemimpin yang memberikan inspirasi bagi sekitarnya soal batas ini. Bagaimana mau memberikan inspirasi jika ia hanya sekedar boneka?

Batas dalam banyak hal itu juga berarti fokus. Jika kita boleh bertanya, apa yang semestinya menjadi fokus bagi pemerintah di republik ini? Jika kita melihat Pembukaan UUD 1945 terutama alinea ke-4, maka bisa dikatakan di sini bahwa fokus pemerintah sebagai penyelenggara negara adalah manusia Indonesia. Dan sebaiknya jangan dipersempit menjadi masalah SDM. Bukan infrastruktur, bukan ekonomi, atau lain-lainnya, tetapi manusia Indonesia. Mengapa ini penting? Sebab kita tidak ingin bicara soal infrastruktur misalnya, demi infrastruktur itu sendiri. Atau soal ekonomi, demi ekonomi itu sendiri. Jika manausia sebagai fokus, maka kita akan terlatih menahan diri, melatih diri dalam berucap, misal, tidak terus mengatakan dengan ringannya supaya nyelam sendiri terkait tenggelamnya kapal di Danau Toba beberapa waktu lalu.

Kalau kita ingin membangun infrastruktur, maka akan selalu muncul pertanyaan-pertanyaan soal dampak bagi manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang mana? Di sinilah politik sebagai komunikasi akan juga mengambil bentuknya. Juga jika kita bicara ekonomi, bagaimana dampak bagi manusia Indonesia? Manusia Indonesia yang mana? Dan seterusnya. Dan jelas manusia Indonesia itu lebih dari sekedar angka-angka statistik. Buktinya? Lihat lagi soal aksi-reaksi, tesis-anti tesis yang berkembang dalam kurun waktu 9 tahun terakhir ini. Manusia-manusia Indonesia yang mampu berkembang, mampu berdenyut.

Ketika kedalaman manusia ini mulai dipinggirkan, segera saja nampak bagaimana dangkalnya narasi-narasi yang hadir di ruang publik itu. Maka benar yang dikatakan Napoleon: “When small attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity’. Solusinya? #2019gantipresiden! *** (16-04-2019)

9 Tahun Pembelajaran

gallery/2019_ganti_3