www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-04-2019

Judul di atas sekedar meminjam term taktik gerilya dari Ketua Mao. Judul untuk memotret yang sedang hangat terkait dengan perhitungan suara dan proses-proses sebelumnya, khususnya pilpres. ‘Kota’ adalah ‘produk’ hitungan ala saudara-saudara kita yang sebagian besar bermukim di Metropolitan, kemudian ambil sampel sana-sini di ‘desa-desa’ dan dengan berdasarkan metode ilmiah mereka mendeklarasikan, ini yang benar. Sedang satu sisi, ada gerakan dari ‘desa-desa’ yang setor data ke saudaranya yang (kebetulan) ada di Metropolitan juga untuk ikut berkontribusi dalam mengatakan, ini yang benar.

Selain itu ada juga jalur resmi melalui badan KPU yang menjulur sampai ke daerah-daerah. Tetapi berbeda dengan badan resmi KPU ini, yang dari ‘desa-desa’ itu ternyata tidak setor data saja, tetapi juga moment-moment yang sangat kuat mengindikasikan adanya kecurangan di sana sini. Dan secara langsung, tidak bertahap. Tahapan yang kadang memang perlu tetapi juga punya potensi bias-bocor-tertelikung di sana-sini. Maka, mereka secara langsung! Dari ‘aktifitas’ ini sebenarnya secara tidak sadar kita sedang membangun sebuah rute baru, rute: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Hikmat – kebijaksanaan dalam mengawal proses kelahiran sebuah ‘perwakilan’. Perwakilan yang nantinya akan melakukan bermacam musyawarah di tingkat negara.

‘Produk Kota’ yang mewujud dalam wujud lembaga-lembaga survei itu jelas membutuhkan biaya tidak sedikit. Perlu ‘sentralisasi’ modal yang tidak sedikit. Begitu juga ‘desa-desa’ yang mengepungnya, hanya saja biaya itu tidak terpusat tetapi ‘ter-desentralisasi’. Dengan modal smart-phone yang mungkin sudah lama dipunyai dan sedikit biaya pulsa, tetapi karena ‘pemain’-nya bisa mencapai ratusan ribu yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, pengepungan ‘kota’ oleh ‘desa-desa’ ini bukanlah pengepungan main-main. Mungkin orang-per-orangnya tidak berdasi dan bekerja di ruang AC dan modal pulsa tidak sampai Rp 10.000 rupiah, tetapi sekali lagi: jangan pernah anggap remeh mereka si-pejuang dari ‘desa-deda’ ini. Apalagi mereka bukanlah ‘prajurit bayaran’ kalau meminjam term Machiavelli yang membahas untung-ruginya Sang Pangeran memakai jasa ‘prajurit bayaran’. Bagai seorang pejuang mereka siap berkeringat demi sebuah cita-cita: menegakkan kebenaran. Yang mungkin saja bagi sebagian ‘produk kota’ itu bukan lagi masalah kebenaran, tetapi lebih soal membela yang bayar.

Maka bagi pejuang-pejuang ‘desa’ sebenarnya ia mempunyai elan vital yang lebih tinggi dibanding ‘prajurit bayaran’ produk ‘kota’ itu. Mereka sebenarnya lebih punya martabat. Dan kalau kita mau jujur sedikit saja, segera akan nampak bahwa gerakan dari ‘desa-desa’ ini jika nantinya semakin ‘terlembagakan’ ia akan sungguh mampu mendorong berkembangnya ‘wajah baru’ republik. Dan yakinlah sebagian besar dari mereka adalah generasi milenial. Tanpa banyak cin-cong mereka telah membangun diri secara positif, tidak hanya sebagai konsumen pasif dari bermacam produk-produk milenial.

Maka, kita sungguh berharap ‘desa’ mengepung ‘kota’ ini akan bermakna signifikan dalam membangun wajah republik, sekarang dan untuk masa-masa yang akan datang. Bravo! *** (18-04-2019)

'Desa' Mengepung 'Kota'

gallery/smartphone