www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

28-04-2019

Seperti sepakbola, kadang pemain yang bahkan sudah top-pun berlaku licik, curang, misal pura-pura dijegal lawan di kotak pinalti. Atau contoh lain. Tetapi mengapa sepakbola bisa berbeda-beda satu tempat dengan tempat lainnya nuansa greget kompetisinya? Salah satunya adalah kualitas wasitnya. Tentu wasit bukan malaikat tanpa pernah sekalipun kecolongan aksi curang si-pemain, tetapi semakin tinggi kualifikasi sang wasit ia semakin kecil dapat kecolongan. Tetapi bagi pemain yang ada dalam ‘ranah’ curang garis keras, tidak usah wasit bahkan penonton-pun sudah akan langsung melihat dan merasa aksi curangnya.

Curang garis keras dalam sepak bola mestinya hanya ada dalam istilah saja sebab begitu ia sudah menampakkan gejalanya, pastilah ia sudah diganjar kartu kuning atau bahkan kartu merah. Maka jika sampai ada permainan bola berlangsung dalam ‘ranah’ curang garis keras ini dapat dipastikan wasitnya jauh dibawah kualifikasi karena ia membiarkan itu terjadi tanpa pernah sekalipun mengeluarkan kartu peringatan. Atau bahkan memang sang wasit sudah menjadi bagian dari ‘sepak bola gajah’ itu.

Maka tidak perlulah berujar soal garis-garis keras di bidang lainnya hanya untuk menutupi terkuaknya curang garis keras ini. Dan mengulur waktu hingga peluit panjang ditiup. Apalagi jika itu dimaksudkan untuk mencari dukungan ‘penonton di luar stadion’ sehingga mau ikut memberikan legitimasi skor hasil telikungan itu. Sangat-sangat akan melukai sportivitas.

Kalau dalam sepakbola menjadi lebih sensitif terkait dengan ujar dan laku rasisme, itu adalah hasil dari perkembangan penghayatan khalayak, terlebih pelaku utama persepakbolaan. Dalam pemilihan, laku curang garis keras ini bisa terjadi dalam input, proses, maupun output-nya. Perbedaannya dalam sensitifitasnya. Dan dengan perkembangan intensitas interaksi antar individu, salah satu yang meningkat sensitifitasnya terkait dengan curang garis keras ini adalah pada output. Sebenarnya dilihat dari esensi dari pemilihan a la one man one vote itu, wajar jika output mempunyai sensitiftas lebih tinggi terkait dengan curang garis keras ini. Logikanya adalah, jika ‘vote’ itu ditelikung sebenarnya sama dengan menelikung ‘man’-nya. Jadi bahkan hanya satu suara-pun yang ditelikung di output, misal di perhitungan suara dan rekapitulasinya, ini sudah merupakan kecurangan garis keras. Mengapa? Karena ini menyangkut manusia yang mempunyai hak yang terlindungi oleh undang-undang. Benar kata Rizal Ramli, perhitungan dan rekapitulasi suara itu mestinya zero-defect. Tidak ada urusannya dengan signifikansi pengaruh atas menang-kalah. Zero-defect dan tidak bisa ditawar. *** (28-04-2019)

Curang Garis Keras

gallery/chelsea