www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-05-2019

Tujuh tahun sebelum Reformasi 1998, Samuel P. Huntington menerbitkan bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Huntington selain memaparkan gelombang demokrasi sejak awal abad 19 juga menganalisa bahwa di masing-masing gelombang itu ternyata ada cerita lain: arus balik demokrasi. Sedang Seva Gunitsky dari Universitas Toronto menyebut bahwa ada 13 gelombang demokrasi sejak abad 18, dari Gelombang Atlantik (1776-1798) sampai dengan gelombang demokrasi dalam Arab Spring di tahun 2011-2012.

Bermacam analisa ada dalam apa yang mendasari berbagai gelombang demokrasi itu muncul. Entah itu soal perkembangan kapitalisme dengan berbagai variannya, perkembangan media komunikasi, sampai dengan pengaruh agama-agama, dan banyak lagi. Kita tidak masuk terkait dengan ini, tetapi lebih pada meraba soal arus balik demokrasi.

Gelombang demokrasi seperti hal lainnya, tidaklah merupakan etintas tunggal yang berlari sendirian, ia selalu ada dalam ketegangannya dengan arus balik demokrasi. Memajukan demokrasi sebenarnya adalah upaya tanpa lelah untuk melawan potensi arus balik demokrasi ini.

Karena yang ber-demokrasi itu bukan malaikat maka gelaran demokrasi terutama pada gelar pemilihan pastilah ada bermacam telikungan. Bisa itu telikungan yang dibawa media. Atau juga denyut money politics. Propaganda, tipu-tipu dan bermacam lagi. Tetapi meski begitu belumlah bisa dikatakan bahwa itu sudah menempatkan demokrasi di jalan arus baliknya. Mbèlgèdès ya, tetapi belum arus balik. Mendorong mungkin, tetapi menempatkan belum. Coba rasakan saja bagaimana money politics itu semakin terkikis dampaknya di pemilu 2019 ini. Tentu masih ada, bahkan masih banyak mungkin, tetapi khalayak semakin cerdas.

Lalu apa yang menempatkan demokrasi di arus baliknya? Jika kita kembali pada esensi dari pemilihan untuk memilih perwakilan di legislatif maupun di eksekutif itu adalah sebagai salah satu wujud demos-kratos, maka hal esensialnya adalah suara orang-per-orangnya. Orang boleh merancang propaganda, merancang langkah cuci otak, tipu-tipu dengan bermacam janji kampanye, tetapi masalah nasib suara adalah batas yang tidak bisa dilanggar. Jika mulai ada upaya mengulik-ulik suara, memanipulasi bahkan satu suara-pun, maka inilah yang akan menempatkan demokrasi ada dalam arus baliknya.

Yang kedua adalah, apa yang membedakan antara demokrasi, monarki, oligarki, misalnya. Dalam demokrasi, jika kita mengambil term di Yunani Kuno, demokrasi bisa dikatakan adalah perebutan ‘hak untuk memimpin’ dalam kurun waktu tertentu, perebutan hegemonia. Hegemonia adalah hak untuk memimpin (right to lead) yang pada masa itu didasarkan pada kontribusi dalam perang antara Yunani vs Persia. Jadi dasar dari hak untuk memimpin itu adalah prestasi, kehormatan, jasa. Dan bukan karena garis keturunan seperti dalam monarki maupun di kalangan lingkaran sedikit saja dalam oligarki (ruled by the few). Maka kontestasi dalam pemilihan itu akan mendasarkan diri pada kontestasi prestasi atau kontestasi janji. Bahkan jika itu janji-janji palsu sekalipun, karena ketika itu terbukti ternyata janji palsu maka ia akan dihukum dalam pemilihan berikutnya. Dan inilah salah satunya mengapa suara menjadi hal mendasar, ia bisa digunakan untuk menghukum si-ugal-ugalan.

Maka dapat dilihat bahwa ketika prinsip hegemonia ini juga diulik-ulik, demokrasi juga akan mempunyai potensi jatuh dalam arus baliknya. Itu akan terjadi ketika hegemonia bergeser ke arche. Arche yang selalu bersifat hirarkis. Ketika hegemonia Amerika bergeser dalam penghayatan arche misal dalam masalah Irak beberapa tahun lalu, kita bisa melihat bagaimana yang kelam kehancuran menjadi catatan sejarah.

Seperti disebut di atas, jika kita ingin memajukan demokrasi maka tidak ada jalan lain kecuali melawan ‘yang-menegasi-demokrasi’, yaitu melawan yang akan menempatkan demokrasi dalam arus balik demokrasi. Wajib melawan dua hal yang mendasar, pertama ketika suara di-ulik-ulik, dimanipulasi, dan yang kedua, ketika hegemonia bergeser ke arche. *** (07-05-2019)

Arus Balik Demokrasi

gallery/huntington