www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

16-05-2019

Stunting nationalism’ adalah nasionalisme ‘kunthét’, stunt: to hinder the normal growth, development, or progress of, to prevent the growth or development of something from reaching its limits. Penampakan nasionalisme ‘kunthét’ ini seringnya ada dalam sikap ‘sok nasionalis’. ‘Stunting nationalism’ adalah juga ‘nasionalisme terkendali’, dalam arti bukan terkendali untuk tidak menjadi ultra-nasionalis, tetapi terkendali supaya tidak menjadi inspirasi kuat sebagai elan-vital bangsa. Elan-vital yang akan menyelusup sebagai energi dalam membuat keputusan, kebijakan, dan daya tahan.

Globalisasi bukanlah penyebab dari stunting nationalism ini. Tidak ada urusannya nasionalisme menjadi kunthét dengan merebaknya gelombang globalisasi. Stunting nationalism adalah masalah apa yang tergantung pada kita dan yang tidak. Globalisasi bisa kita tempatkan pada apa yang tidak tergantung pada kita, tetapi respon kita terhadap globalisasi itulah yang tergantung pada kita. Respon yang akhirnya bisa ikut menentukan apakah nasionalisme berkembang menjadi stunting atau tidak.

Jika kita meminjam istilah si Bung, nasionalisme tidak bisa lepas dari upaya mencari ‘keberesan rezeki’. Globalisasi adalah ancaman sekaligus peluang, ancaman dan peluang dalam menuju keberesan rezeki. Pertanyaannya adalah, keberesan rezeki untuk siapa? Inilah sebenarnya salah satu masalah utama penyebab ‘stunting nationalism’ ini. Keberesan rezeki yang di-disain pertama-tama untuk mendukung langgengnya pakta-dominasi, dan bukan keberesan rezeki bagi khalayak, bukan keberesan rezeki yang didorong oleh kecintaan yang mendalam akan nasib bangsa secara keseluruhan. Jika nasioalisme mampu melampaui kondisi stunting-nya, jelas ia akan mempersoalkan bermacam ketimpangan ini. Ia akan bertanya mengapa pakta-dominasi ini tidak mewujud dalam keberesan rezeki bangsa secara keseluruhan.

Yang kedua adalah masalah yang mirip-mirip dengan teori ketergantungan, soal bagaimana ‘pusat’ menghisap yang ‘pinggiran’. Pada tingkatan tertentu ini adalah soal ‘keberesan politik’, sekali lagi meminjam istilah si-Bung. Jika politik adalah masalah power, ini adalah masalah bagaimana power terbangun dengan berkemampuan untuk ‘memaksa’ duduk bersama dalam meja ‘ke-saling-ketergantungan’. Bukan ketergantungan. Apalagi ke-ter-boneka-an. Power yang terbangun dengan berkemampuan untuk ‘memaksa’ duduk bersama dalam meja ‘ke-saling-ketergantungan’ itu salah satu bahan bakar utamanya adalah kecintaan akan negara-bangsanya.

Dari beberapa hal di atas bisa dilihat sedikit banyak bahwa kunthét-nya nasionalisme ini sebenarnya adalah masalah ‘klientisme’. Berharap pada patron-patron untuk sebuah perlindungan dalam upaya tetap berjaya dalam menelikung keberesan rezeki bangsa. Demi keberesan rezeki diri dan kelompok kecilnya yang sedang menikmati nikmatnya pakta dominasi. Klientisme yang akan semakin nampak ketika tata geo-politik global semakin menunjukkan dinamikanya.

Benar kata Arnold J. Toynbee, salah satu runtuhnya peradaban karena apa yang disebutnya sebagai minoritas kreatif itu telah menjadi ‘mbèlgèdès’ sifatnya. Yang ‘sok-sok nasionalis’ produk dongeng ‘kancil nyolong timun’ itu jelas harus disingkirkan dari ranah republik abad 21. Ini harus dilakukan jika kita betul-betul berkeinginan membangun ‘keberesan politik’ dan ‘keberesan rezeki’ di republik yang kita cintai ini. *** (16-05-2019)

 

'Stunting Nationalism'