www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

19-05-2019

Ketika kita mendengar sebuah melodi, saat kita mendengar nada 2 misalnya, pada saat yang sama sebenarnya bagi kita, seakan nada 1 sebelumnya mengalami retensi dan menjadi ‘horison’ bagi nada 2, dan pada saat yang bersamaan kita sedang ‘mengantisipasi’ nada 3 yang belum terdengar. Ketika kita jumpa teman akrab waktu kecil yang lama tidak bertemu, dan tiba-tiba saja kita bertemu di satu kesempatan, beberapa detik kita mungkin akan mematung-terhenyak, dan kemudian kita salaman atau berpelukan dan bercerita akrab. Suasana hati yang terbangun dari bermacam memori waktu kecil itu memberikan semacam ‘horison’ bagi keterhenyakkan kita saat ketemu dengan teman akrab waktu kecil itu.

Bagi Heidegger, suasana-suasana hati itu telah ‘menala’ seperti misal kita sedang menala gitar, pada situasi-situasi tertentu. Ketika kita lewat pada malam hari di sebuah tempat sepi dimana kita sudah diberitahu lebih dulu di situ banyak begalnya, suasana hati akan memberikan nuansa akan ketersituasian kita saat itu, suasana hati yang dipenuhi was-was misalnya. Maka kitapun akan mengantisipasinya dengan sikap waspada dan siap lari jika ada yang mencurigakan. Pada saat kita di jalan itu, rasanya kita terlempar saja, meski kita sebelumnya banyak pilihan misal untuk tidak lewat jalan itu. Atau saat kita betul-betul dirampok, rasanya sungguh ‘nelongso’, frustasi misalnya. Atau saat kita pindah rumah, seakan kita ‘terlempar’ dalam situasi banyak yang asing. Bagi Heidegger, ‘keterlemparan’ yang paling asli dan purba adalah keterlemparan ke dalam dunia, yakni fakta bahwa kita berada-di-dalam-dunia.[1] Kita ‘tergeletak’ begitu saja di dunia ini. Kita ‘ada-disana’ begitu saja. Kita ada saja tergeletak di nada 2 tanpa bayangan samasekali soal nada 1 dan nada 3.

Situasi keterlemparan berada-di-dalam-dunia, atau katakanlah kita ada saja tergeletak di nada 2 tanpa bayangan samasekali soal nada 1 dan nada 3, ‘memaksa’ kita untuk berkenalan dengan ‘suasana hati dasar yang mendahului atau lebih primordial daripada segala suasana hati lain. Suasana hati itu adalah kecemasan’.[2] Berbeda dengan suasana hati ‘takut’ dimana ia mempunyai obyek yang jelas, cemas tidak memiliki obyek yang jelas. Menurut Heidegger, obyek kecemasan adalah berada-di-dalam-dunia itu sendiri.[3] Dengan ‘tidak-terikat-nya’ dengan nada 1 dan nada 3 yang ‘memaksa’ kita berkenalan dengan kecemasan maka sebenarnya pada saat yang sama kecemasan itu akan menguak kebebasan eksistensial kita. Kita cemas karena menyadari kebebasan kita, dan kita bebas dalam kecemasan itu.[4]

Bagi Heidegger, kematian tidak pernah bisa digantikan oleh orang lain. Pengalaman akan kematian tidak bisa tergantikan dengan kematian orang lain. Orang bisa mengatakan ia siap mati demi sesuatu, tetapi kematiannya tetaplah merupakan pengalaman pribadi yang tak tergantikan. Kematian adalah sesuatu yang pasti, tidak bisa ditawar. Kematian yang datangnya juga kita tidak tahu kapan. Kematian juga tidak akan terlampaui, ia merupakan batas dari segala potensialitas saya.

Menurut Simon Critchley, Being and Time buku terkenal dari Heidegger itu mempunyai ide dasar yang sederhana, yaitu: “being is time and time is finite.”[5] Dilanjutkan oleh Critchley: “For human beings, time comes to an end with our death. Therefore, if we want to understand what it means to be an authentic human being, then it is essential that we constantly project our lives onto the horizon of our death.”[6]

Bagaimana kita ‘yang tergeletak begitu saja di sana’ bisa menjadi otentik? Maka ia akan menyongsong kematian sebagai kemungkinannya sendiri. Mengantisipasi kematian terjadi manakala kita menyadari keterlemparan dalam kecemasan eksistensial, yaitu saat krisis untuk mengambil keputusan penting yang menentukan arah hidup.[7]

Mengapa bermacam ‘keruwetan’ itu dipaparkan di sini? Salah satunya adalah karena saat-saat ini kita dihadapkan dengan begitu banyak kematian terkait dengan pemilihan umum tahun ini. Ketika kita hanya merespon dengan dasar bahwa semua orang toh akan mati, atau memberikan label ‘pahlawan demokrasi’ dan berharap urusan kemudian selesai, maka itu adalah respon ‘orang kebanyakan dalam kesehariannya’, das Man. Ciri das Man adalah lari dari kecemasan dengan menguburnya dalam obyektivitas anggapan umum. Dengan menganggapnya sebagai hal umum yang niscaya, ciri kemungkinannya hilang, sehingga tak perlu dicemaskan lagi. Di sini orang tidak hanya lupa akan Ada-nya, melainkan juga lupa akan kemungkinan ketiadaannya.[8]  Maka ketika pemimpin hanya bersikap ‘ala kadarnya’ ketika menghadapi begitu banyak kematian menimpa yang dipimpinnya, paling tidak ada dua kemungkinan, pertama, dia dungu abis, sangat miskin imajinasi, kedua, ia bukan orang bebas, ia seakan terikat tali di kedua tangan dan kedua kakinya layaknya sebuah boneka tali.

Bagi Bung Karno dan pejuang kemerdekaan lainnya, keterlemparan dalam dunia terjajah adalah fakta yang tidak mungkin dihindari. Tidak hanya kematian diri yang dihadapi, tetapi juga terbayangkan kematian orang-orang sekitar, dan bahkan kematian orang-orang jauh sebangsa yang mungkin tak pernah ditemuinya. Perasaan-perasaan yang begitu mendalam akan kemungkinan hadirnya kematian dan kematian-kematian itu sekaligus juga mendorong untuk membuka kemungkinan lain: merdeka. Antisipasinya adalah berjuang untuk merdeka. Bahkan pada satu moment si Bung begitu yakin ketika para penjajah itu bertikai sendiri dalam Perang Pasifik, saat itulah kemerdekaan akan menyingsing. Saat dunia berkembang dalam Perang Dingin, ‘suasana hati’ bangsa-pun berubah. Harapan akan berhasilnya ‘pembangunan’-pun berhasil ‘mengubur kecemasan dalam obyektivitas anggapan umum’. Masuk pasca 1998, ‘demokrasi’-lah yang ‘mengubur kecemasan dalam obyektivitas anggapan umum’. Mengapa kecemasan-kecemasan ini sadar atau tidak menjadi terkubur atau dikubur?

Kecemasan seperti sudah disebut di atas, sebagai suasana hati yang paling mendahului dan paling primordial, kecemasan itu akan menguak kebebasan eksistensial kita. Kita cemas karena menyadari kebebasan kita, dan kita bebas dalam kecemasan itu. Dan saat itu juga kita akan melihat bermacam kemungkinan. Apalagi jika ‘kematian’ perlahan tumbuh sebagai horison. Ketika demokrasi tiba-tiba saja menjadi begitu ‘kotor’-nya, kecemasan-pun menyeruak ‘keluar dari kuburan’-nya. Dan tiba-tiba saja bukan nasib demokrasi yang mencemaskan, tetapi tiba-tiba saja seperti terlempar begitu saja. Bukan lagi masalah sitang-situng, suara hantu, dan arogansi penyelenggara. Terlempar dan sekaligus ada kebebasan di depan mata. Bermacam pilihan ada di depan mata. Dan sampailah pada momen harus membuat pilihan yang akan menentukan arah hidup. Sudah bukan masalah keseharian lagi. Dan takut sudah menjadi nomor sekian. *** (19-05-2019)

 

[1] F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, KPG, 2016, cet-3, hlm. 82

[2] Ibid, hlm.89

[3] Ibid, hlm. 90

[4] Ibid, hlm. 91

[5] https://www.theguardian.com/commentisfree

/belief/2009/jul/13/heidegger-being-time

[6] Ibid

[7] F. Budi Hardiman, hlm. 107

[8] Ibid, hlm. 106-107

Cemas? Ya. Takut? Nggak