www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-05-2019

Ketika kematian menjemput, orang-orang sekitar akan menunda aktifitasnya. Yang mestinya masuk kerja ia akan ijin tidak masuk. Bahkan rapat penting-pun jika ia punya kuasa untuk menunda akan ditundanya. Berapapun harga tiket jika tersedia ia akan membelinya jika ada uang, untuk pulang. Teman dekat akan bersedia menunda rencananya demi bisa mengantar temannya yang kebetulan kerabat yang meninggal. Mungkin hanya ‘stoic gendeng’ merupakan pengecualian. Atau yang dekat-dekat dengan sosiopat, atau alasan kultural tertentu. Kematian sendiri tidak dapat diketahui kapan datangnya. Kata Kitab Suci ia datang seperti pencuri di malam hari. Dan kita diajarkan untuk selalu bersiap diri atas ketidak-tahuan kapan datangnya itu. Biar masuk surga.

Bagi Heidegger, “being-towards-death pulls Dasein out of its immersion in inauthentic everyday life and allows it come into its own. It is only in relation to being-towards-death that I become passionately aware to my freedom,” demikian Simon Critchley dalam kolomnya di The Guardian, 13 Juli 2009.[1] Bebas ketika misalnya harus mengambil sikap atau keputusan ketika berhadapan dengan bermacam ‘situasi-batas’ yang ada di depan mata. Termasuk dalam hal ini bebas untuk bercakap-cakap dengan yang lain, demi menguak kecemasan yang seakan tak berujung misalnya. Bercakap-cakap yang tidak sekedar hanya mengisi waktu luang ngibul sana-sini, tetapi percakapan yang sungguh keluar dengan segala potensinya. Menurut Driyarkara, manusia tidak bernegara melainkan menegara. Adanya Negara ialah karena dan selama manusia menegara.[2] Menegara berarti bercakap-cakap.[3] Bercakap-cakap untuk semakin menguak dan mewujudkan nilai-nilai manusia sepanjang nilai-nilai itu dapat dilaksanakan dengan dan dalam kesatuan manusia. Kesatuan manusia yang berbuat bersama itu kita sebut organisasi. Demikian juga Negara. Maka Negara sebagai organisasi sudah dengan sendirinya membawa batas-batasnya.[4]

Dari penelurusan ringkas B. Herry-Priyono mungkin kita bisa mendapat tambahan pemahaman mengapa hal diatas dapat saja terjadi. Dalam Theory Moral Sentiment (Part VI), misalnya, (Adam) Smith secara rinci mengajukan semacam sosiometri dekat-jauhnya kinerja simpati: dari diri sendiri, lalu keluarga, anak-anak saudara sekandung, sehabat, tetangga, sampai ke radius luar dan paling jauh yang mencakup orang sebangsa yang samasekali tidak dikenal, demikian ditulis oleh Herry-Priyono. Dilanjutkan: “Ada yang penting dalam sosiometri itu. Relasi ekonomi menurut sistem pasar lebih berlaku bagi orang-orang dalam radius sosial yang semakin jauh ketimbang bagi orang-orang dalam radius sosial yang dekat.”[5] Dari penjelasan ini, kita bisa menjadi lebih paham soal guanxi,[6] misalnya. Atau pendapat Pierre Bourdieu soal neoliberalism. “What is neoliberalism? A programme for destroying collective structures which may impede the pure market logic,” demikian Bourdieu dalam kolomnya di Le Monde diplomatique, Desember 1998.[7]

Tetapi soal ‘seluk-beluk’ kematian di awal tulisan, bisa dilihat dari sisi lain, dari sisi Tuhan yang sebenarnya kita pastilah tidak tahu. Tetapi dari sisi yang ada di dalam dinamika Empire-nya Antonio Negri dan Michael Hardt, kematian yang datangnya seperti ‘pencuri di malam hari’ itu dari kacamata mereka adalah sebuah ‘permanent state of emergency’. Dan merekalah ‘tuhan’-nya.

Dan layaknya Tuhan yang mempunyai hak penuh untuk menentukan siapa-siapa masuk surga atau neraka, ‘tuhan’ di Empire ini karena background ‘state of emergency’ yang celakanya lagi sifatnya permanen, ia bisa berbuat apa saja sesukanya. Perang Dingin adalah juga salah satu bentuk ‘permanent state of emergency’ ini. Dan siapa saja yang ada di-bloknya, nyanyian soal pelanggaran HAM itu bisa-bisa saja hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Dalam situasi state of emergency, legitimasi tindakan adalah di hasil. Selama misal dalam Perang Dingin itu, hasil tetap setia dalam blok-nya, maka bermacam tindakan itu adalah legitimate. Pasca Perang Dingin, ‘permanent state of emergency’ dibangun salah satunya atas dasar terorisme, fundamentalisme, dan sekitarnya. Hukum, peraturan, undang-undang akan di-suspend, ditangguhkan dalam situasi ‘state of emergency’. Dan legitimasi tindakan tetap ada di hasil. Dan sayangnya, demokrasi-pun akan ada dalam bayang-bayang suspend itu. Bahkan kadang sampai soal ‘bercakap-cakap’. Suspend dalam bermacam bentuknya. Yang penting hasil: tetap selalu bersedia jadi jongos-kacungnya yang ada dalam dinamika Empire itu. *** (27-05-2019)

 

[1] https://www.theguardian.com/

commentisfree/belief/2009/jul/13/heidegger-being-time

[2] A. Sudiarja, SJ. dkk (peny), Karya Lengkap Driyarkara, Gramedia, 2006, hlm. 607

[3] Ibid, hlm. 609

[4] Ibid, hlm. 608

[5] B. Herry Priyono, Adam Smith dan Munculnya Ekonomi. Dari Filsafat Moral ke Ilmu Sosial, Diskursus, Vol. 6 No. 1, 2007, hlm. 23

[6] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/044-Kapitalisme-Guanxi/

[7] https://mondediplo.com/1998/12/08bourdieu

Menegara vs Empire