www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-06-2019

Judul tulisan memang terasa kontradiktif, adakah ‘shock’ yang ‘soft’? Bukan dimaksudkan menyandingkan kata ‘soft’ dan ‘shock’, tetapi yang ingin dibahas adalah ‘rute’ lain dari ‘shock doctrine’, rute yang lebih ‘lunak’. Sedang istilah ‘shock doctrine’ ini mengacu pada tulisan Naomi Klein, The Shock Doctrine (2007).

Esensi dari ‘shock doctrine’-nya Naomi Klein adalah soal ‘kontrol’. Dan titik temu antara rute yang ‘soft’ dan rute ‘shock’ adalah apa yang disebut Naomi Klein situasi “clean canvases’ yang mana ‘mereka’ kemudian dapat mulai ‘melukisnya’ dengan penuh daya kontrol. “Believes in the shock doctrine are convinced that only a great rupture –a flood, a war, a terrorist attack – can generate the kind of vast, clean canvases they crave. It is in these malleable moments, when we are psychologically unmoored and physically uprooted, that these artists of the real plunge in their hands and begins their work of remaking the world,” demikian Naomi Klein.[1]  

Dari kacamata Heidegger, mungkin kata-kata kunci dari kutipan di atas adalah ‘unmoored’ dan ‘uprooted’. Judul lengkap buku Naomi Klein adalah The Shock Doctrine. The Rise of Disaster Capitalism, dan salah satu contoh yang diangkat adalah bencana badai Katrina di New Orleans bertahun lalu. Akibat dari bencana dahsyat badai Katrina itu membuat warga New Orleans seperti tercerabut dari akarnya, ‘dunia’ yang terbangun selama ini tiba-tiba saja runtuh dan tidak bisa jadi semacam ‘tambatan’ kesadaran ‘dunia’-nya. Inilah yang kemudian disebut sebagai ‘clean canvases’, seakan menjadi sebuah kanvas putih bersih, dan bagi Milton Friedman, inilah saat yang tepat untuk melukis dengan penuh daya kontrol, sebuah bangunan baru yang sering disebut sebagai neoliberalisme itu.

Manusia tidak hanya ada di sana tergeletak begitu saja, tetapi ia ‘menduniakan’ dunianya. Dalam ‘menduniakan’ dunianya itulah ia sekaligus berakar, keberakaran yang sebenarnya tidak lepas ketika ia membangun ‘dunia’-nya.[2] Itulah mengapa apapun alasan sebuah penggusuran misalnya, ia tidak hanya berurusan dengan masalah ganti-rugi-ganti-untung. Ketika ‘dunia’-nya hancur lebur karena bencana dahsyat, sekaligus juga keberakarannya tercerabut, dan tiba-tiba saja ia seakan terhempas-tergeletak di atas ‘kanvas putih bersih kosong’. Dan celakanya, ada yang menganggap ini adalah juga ‘berkah’ sebagai kesempatan untuk ‘melukis hal baru’. Yaitu ketika kapitalisme-neoliberalisme a la Milton Friedman dkk menjadikannya sebagai sebuah ‘disaster capitalism’. Tentu banyak bantuan terhadap tragedi kemanusiaan ini yang tulus-ikhlas tanpa agenda selain agenda kemanusiaan, tetapi jelas tidak bagi Milton Friedman dkk. Paling tidak menurut Naomi Klein.

Dalam Empire (2000), Antonio Negri dan Michael Hardt menggambarkan salah satu hal terkait dengan pergeseran dari ‘imperialisme’ ke ‘imperial’ adalah pergeseran dari ‘pendisiplinan’ ke ‘kontrol’, meminjam analisis Michael Foucault. “Kontrol’ melalui rute ‘shock doctrine’ seperti digambarkan di atas adalah salah satu rute yang sudah diuji-coba di tahun 1970-an di Chile saat Pinochet berkuasa, menurut Naomi Klein. Atau bahkan sebelumnya di republik? Tetapi lepas dari itu, rute ‘shock doctrine’ tetaplah ‘mahal-harganya’, selain itu juga jika menunggu salah satu ‘trigger’-nya: bencana alam, kurang pasti kapan akan terjadi. Maka mungkin dikembangkan salah satu rute lain yang adalah dalam bentuk ‘soft’, tetapi tetap dalam ranah ‘unmoored’ dan ‘uprooted’. Dan itu adalah, katakanlah ‘kebingungan’, confusion.

Manuel Castells dalam The Rise of Network Society (1996) menggambarkan bagaimana konsekuensi ketika arus informasi terus menghujam dalam kehidupan dan terus meningkat kecepatannya, “in a world of global flows of wealth, power, and images, the search for identity, collective or individual, ascribed or constructed, becomes the fundamental source of social meaning ... People increasingly organize their meaning not around what they do but on the basis of what they are, or believe they are.[3] Jika kita lihat lebih lanjut dalam bahasan kali ini, intensitas seliweran informasi yang semakin dahsyat itu disatu sisi akan membuat ‘dunia’ yang terbangun menjadi rapuh, mudah retak, dan kita bisa masuk dalam sebuah situasi yang membingungkan. Memang belum sampai pada situasi ‘tergeletak dalam kanvas putih-bersih-kosong’, tetapi tetap saja bisa dilihat sebagai yang sudah masuk dalam situasi potensial ‘siap-dikontrol’. Bayangkan saja, meski kita membawa peta tetapi kita masuk dalam situasi kebingungan dalam membaca peta, entah peta yang sudah kedaluarsa atau kita sendiri yang bingung saja, dan kemudian kita mencari tempat bertanya. Siapa yang dominan pegang kontrol saat kita bertanya? “Our societies are increasingly structured around a bipolar opposition between the Net and the Self,” demikian Manuel Castells.[4] Dan kita semua tahu bagaimana dinamisnya ‘the Net’ itu.

‘Membangun kebingungan’ kemudian dapat dikatakan sebagai salah satu rute menyusun ‘daya kontrol’. Tetapi tentu ini bukanlah sebuah ‘cek kosong’ karena tetaplah ‘kebingungan’ tersebut terjadi bukan di atas kanvas yang serba putih-bersih-kosong, sehingga masih mampu  berkelit  ‘on the basis of what they are, or believe they are’. Maka sebenarnya ini adalah sebuah paket, ‘membangun kebingungan’ yang tidak lepas dari upaya menekan apa-apa yang bisa menjadi pegangan, entah itu ‘bangunan dunia negara-bangsa’, agama, suku, dan bermacam lagi. ‘Stunting nationalism[5] adalah salah satu upaya supaya ‘bangunan dunia negara-bangsa’ tidak menjadi akar dimana pegangan bisa ditempatkan. Demikian juga berbagai term radikalisme dan ‘sekeluarga’-nya. Dan bermacam lagi. Bahkan jika perlu suspend akun-akun sosmed dengan follower gigantis.

Jadi tidaklah mengherankan dalam upaya ‘membangun kebingungan’ ini kadang ruang publik sering muncul ujaran ‘asal-njeplak’ dari yang pegang bermacam ‘otoritas’. Kadang kemudian dikoreksi. Semau-mau gue. Atau melempar pernyataan yang aneh-aneh, atau: kok bisa dia omong gitu, informasi dari mana? Para ‘setan gundul’ itu juga sebagian mulai asyik main ping-pong. Bahkan yang profesor-doktor dari sebuah lembaga penelitian terhormat, tak sungkan lagi mendeklarasikan diri sebagai bagian dari ‘republik setan gundul’. Toh tak akan ada konsekuensinya sama sekali –bahkan hukum-pun tak akan menjangkau mereka, kecuali menambah ‘bingung’ khalayak. Intiya adalah kontrol. Kontrol sembari ‘melukis’ sesuatu yang baru. Bangsat! *** (07-06-2019)

 

[1] Naomi Klein, The Shock Doctrine, Metropolitan Books, 2007, hlm. 21

[2] Lihat juga Martin Heidegger, Buildings Dwellings Thinking, dalam Heidegger, Poetry Language Thought, Harperperennial, 2001, hlm. 143 - 159

[3] Manuel Castells, The Rise of Network Society, Blackwell Publisher, 1996, hlm. 3

[4] Ibid

[5] Lihat https://www.pergerakankebangsaan.com/295-Stunting-Nationalism/

'Soft' Shock Doctrine