16-06-2019
Kita sebagai bangsa adalah ‘Sang Perantau’, baik merantau dari segi ruang dan waktu. ‘Unfinished nation’, demikian Max Lane memberikan judul bukunya yang dalam bahasa Indonesia terbit tahun 2007. Dan memang kita tidak akan pernah ‘selesai’ sebagai satu bangsa.Tetapi bagaimana wajah bangsa akan menampakkan diri dari waktu ke waktu dalam perantauannya itu? Ada yang bilang, dari tertib lalu-lintasnya. Atau kesan pertama ketika ‘orang luar’ mendarat dan masuk ke bandara. Bermacam-macam. Mangunwijaya dalam tulisan “Kini Kita Semua Perantau” (1989) menullis hal menarik: “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan.”[1]
Bagaimana suatu bangsa ‘mengendalikan kekuasaan’ tidak hanya terkait soal wajah bangsa, tetapi juga disebut Mangun terkait juga dengan sifat, watak, dan suasana suatu bangsa. Dalam ranah demokrasi, pengendalian kekuasaan tidak hanya soal pelaksanaan kekuasaan, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu ‘dibangun’. Lihatlah bagaimana sebagian ‘kekuasaan rakyat’ yang terbangun dengan aksi-aksi Bela Islam beberapa waktu lalu yang mampu menghadirkan jutaan manusia dalam satu waktu dan satu tempat –dan tidak hanya sekali saja, selesai aksi tempat segera menjadi bersih lagi! Dan sungguh terselenggara dengan damai. Suka-tidak-suka terhadap aksi tersebut, fakta ada di depan mata kita semua. Dan bagaimana kita ‘mengelola’ salah satu penampakan kekuatan rakyat yang sungguh bermartabat itu, jika mengikuti Mangun, itulah juga akan mewarnai wajah bangsa kita. Apakah itu kita anggap sebagai sebuah peristiwa sambil lalu saja? Atau justru harus ditelikung dengan segala serangan buzzer misalnya. Dan bahkan media main-stream.
Atau coba kita renungkan wajah bangsa ketika sebuah proses terkait dengan proses pembentukan kekuasaan melalui pemilihan, dengan segala kritik denyut dan kematian beratus petugas-nya (!!), KPU 'yang terhormat' itu memilih mengumumkan hasil pada dini-hari saat kebanyakan warga negara tidur. Tidak hanya itu, setelah itu-pun berfoto ria. Atau ketika sampai pada tingkat Mahkamah Konstitusi, para anggota KPU ‘yang terhormat’ itu minta waktu tambahan karena ‘sulit dapat tiket transportasi’. (Piye iki, cuk, jan as- tenan to kuwi ...)
Hal terkait dengan di atas kita juga bisa merenungkan bagaimana babak-belur-nya wajah bangsa ketika dalam proses pembentukan kekuasaan itu dimana kita sudah ‘dicambuki’ dengan kekuatan uang. Dan juga kekuatan kekerasan. Belum lagi bermacam pelintiran media massa. Jungkir-baliknya etika. Mahkamah Konstitusi dalam tahapan sekarang ini, kiranya bisa menjadi yang terakhir bagi kita sebagai satu bangsa untuk memberikan wajah pada dunia, wajah kita sebenarnya. Wajah yang sedang ditarik-tarik kesana-sini oleh pertarungan antara ‘yang terang’ dan ‘yang gelap’. Antara sekelompok rakyat yang mampu menjaga kebersihan setelah aksi, dengan yang tidak peduli lagi apakah aksi-aksinya itu sungguh mengotori republik. *** (16-06-2019)
[1] Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca Einstein, Kanisius, 1999, hlm. 302
Mangunwijaya, 1929-1999