www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-06-2019

Manusia itu tidak bernegara, melainkan menegara,” demikian Driyarkara, 63 tahun lalu. “Adanya Negara ialah karena dan selama manusia menegara. Andaikata itu berhenti, maka lenyap juga Negara,” lanjut Driyarkara.[1] Kadang kita lupa hal mendasar ini, seringnya kita membahas soal inflasi, investasi, kurs rupiah, infrastruktur, partai, pemilu, dan bermacam lagi. Lupa hal utama dan pertama-tama urusan negara yaitu terkait dengan manusia-manusianya.

Atau coba kita pelan-pelan membaca berulang Pembukaan UUD 1945 terutama alinea ke-4 bagian awal, bukankah itu bicara soal manusia? Manusia dengan tempat bagi keberakarannya, tumpah-darahnya. Maka seperti disebut pada alinea ke-4, soal ‘pemerintah negara Indonesia’ atau penyelenggara negara tidak bisa lepas dari dimensi keterkaitan erat dengan soal manusia ini.

Maka jika seorang penyelenggara negara mengatakan ‘demi negara’ ia sebenarnya pertama-tama berurusan dengan manusia-manusia. Seorang pejabat negara yang tidak bereaksi secara cukup ketika bawahannya mengatakan pada warga yang sedang berduka ‘suruh nyelam sendiri’ adalah seorang pejabat penyelenggara negara yang ‘mbèlgèdès’ sifatnya. Lihat lagi jejak-jejak digital tenggelamnya kapal di Danau Toba beberapa waktu lalu. Atau yang masih menyempatkan diri selfa-selfi di daerah bencana yang lekat dengan aroma kematian itu.

Atau yang terakhir, kematian beratus petugas terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum kemarin. Bahkan seorang pemimpin yang di tangannya ada bermacam otoritas itu, memilih bersikap ala-kadarnya saja. Belum lagi yang meninggal setelah pemilihan dengan sebab-sebab yang masih gelap. Atau kasus penganiayaan dari seorang penyidik KPK. Untuk hal-hal terkait dengan tragedi kemanusiaan di depan mata itu, jika seorang penyelenggara negara hanya bersikap ala-kadarnya, ia jelas tidak paham apa itu esensi di balik adanya negara. Dan ketika orang itu dengan berbusa-busa siap masuk pada kegilaan ‘demi negara’, jelas orang tersebut sedang nggedebus berat. Dari rekam jejak, dia sebenarnya sudah tidak punya kredibilitas lagi pada levelnya untuk omong ‘demi negara’. Termasuk juga, yang saat itu bertepuk tangan. ‘Ranah nggedebus’ itu semakin lama semakin memuakkan saja. *** (18-06-2019)

 

[1] Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara, Kanisius, hlm. 607

'Demi Negara'

gallery/driyarkara01

Driyarkara, 1913 - 1967