www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-06-2019

Dalam Total Quality Management (bukan ‘perang total’, cuk) dikenal adanya istilah zero defect [1], istilah yang pertama kali dilempar oleh Philip Crosby. Di korporasi-korporasi Amerika sana mulai di kenal di tahun-tahun awal Orde Baru, kira-kira 10 tahun sebelum buku Koentjaraningrat “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan” (1974) terbit. Jepang yang porak-poranda akibat Perang Dunia II-pun mengembangkan bermacam rute manajemen, dan banyak terinspirasi dari pengembangan manajemen –si-visible hand, Amerika yang berkembang pesat sejak akhir abad 19 dan awal abad 20. Salah satu yang sering sebagai contoh adalah keberhasilan manajemen Toyota, misalnya.

Bertahun kemudian kita di tahun 2008, setelah melalui fase persiapan dan pembangunan selama 10 tahun, Large Hadron Collider (LHC) siap beroperasi di Eropa sana. Sebuah bangunan melingkar dengan panjang 27 km dan ada di kedalaman hampir 200 meter di bawah permukaan tanah. LHC dimaksudkan salah satunya untuk mendeteksi adanya ‘god particle’, terkait dengan upaya penjelas soal alam semesta. Pengetahuan dan akumulasi modal dari berbagai trans-national-corporation seakan-akan meloncat-loncat terus meraksasa 100 tahun terakhir ini. Kita sebagai bangsa yang merdeka sejak 1945 itu bisa dikatakan sebagai juga saksi betapa dinamisnya abad XX dan awal abad XXI ini. Tetapi sayangnya –satu contoh ‘kecil’, Romo Benny Susetyo sebagai salah satu yang terlibat dalam 'lembaga Pancasila' itu masih saja berkutat soal anti-radikalisme.[2] Bahkan semakin terasa, ‘visi-misi’ anti-radikalisme-nya itu seakan telah menjadi satu bentuk radikalisme baru. Bangsat-lah.

Bagi Johann Galtung, kekerasan itu juga bisa mewujud pada tertekannya bahkan hilangnya sebuah potensi. Apa yang ditulis Koentjaraningrat di tahun 1974 seperti disinggung di atas, rasanya masih saja lekat pada diri kita, antara lain: sifat meremehkan mutu, suka menerabas, dan tidak bertanggung jawab kokoh - 45 tahun kemudian! Tentu dalam kurun waktu itu banyak juga kemajuan, tetapi lihatlah bagaimana gelar pemilihan yang baru saja selesai dan yang dikelola oleh aparat KPU dan stake-holder lainnya. Ketika perguruan tinggi dan sekolah-sekolah sibuk akreditasi, juga rumah sakit dan bermacam institusi lain terkait dengan standarisasi, KPU dengan pongah (atau licik?)-nya menolak audit-forensik sistem IT-nya. Dan bermacam contoh lagi yang jika ditulis di sini malah justru membuat kita semakin emosi. Intinya adalah, bagaimana kekuasaan itu justru melakukan bermacam kekerasan pada warganya –yang mungkin kita tidak merasakannya, sehingga potensi warga untuk mampu mengembangkan diri untuk menjadi semakin kompatibel dengan perkembangan dunia menjadi tersendat. Dan harga yang harus dibayar dari bermacam kekerasan itu, adalah keadilan. Kekerasan akan berkelindan erat dengan keadilan, atau ke-tidak-adil-an.

Ketika sebagai anggota yang terhormat ‘lembaga Pancasila’ itu jarang terdengar bicara soal ke-tidak-adil-an dalam berbagai dimensinya , dan bisanya dan beraninya bicara soal anti-radikalisme, sebaiknya diam saja. Shut-up! Sudahlah, nikmati saja status dan gaji anda. Tentu ini belumlah hal terburuk yang kita hadapi sebagai bangsa. Coba nanti ketika kedaulatan sebagai bangsa merdeka sudah sampai di ujung jurang! *** (24-06-2019)

 

[1] Zero Defects is a management tool aimed at the reduction of defects through prevention. It is directed at motivating people to prevent mistakes by developing a constant, conscious desire to do their job right the first time

[2] https://www.reuters.com/article/us-indonesia-politics-islamism-exclusive/exclusive-after-bruising-election-indonesia-to-vet-public-servants-to-identify-islamists-idUSKCN1TM0T8

Permisif Terhadap Kecurangan Di Era LHC