www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

02-07-2019

Viral-nya kejadian seorang wanita membawa anjing masuk masjid sambil marah-marah dan tanpa melepas alas kaki itu jelas akan memberikan semacam ‘shock’ bagi sebagian besar umat Islam di republik, apapun latar belakang kejadian tersebut. Pada hari yang sama, Setara Institute merilis penelitiannya terkait soal fundamentalisme di kampus-kampus.[1] Tentu ini ‘kebetulan’ saja. Dan ‘kebetulan’ juga, selang dua hari-an Denny JA di kantor LSI-nya menyatakan soal 2024 yang akan diramaikan pertarungan 4 ideologi berbeda. Ketika banyak umat sedang ‘shock’[2] dengan pemberitaan di atas, seakan sedang ada yang bilang bahwa situasi ‘demokrasi’ republik sekarang ini adalah baik-baik saja, dan tataplah besok (karena) yang akan terjadi adalah bla ... bla ... bla.[3] Mungkin juga ada yang kemudian lupa bagaimana ‘kiprah’ presiden di gelar G-20 di Jepang akhir Juni-awal Juli ini.

All significant concepts of the modern theory of the state are secularized theological concepts,” demikian Carl Schmitt dalam Political Theology (1934). Dengan lengkapnya buku yang beredar di daratan Eropa sana sejak jaman Yunani Kuno, Carl Schmitt kiranya tidak asal nggedebus saja. Cobalah kita lihat contoh ‘kecil’ saja, yaitu ketika Adam Smith yang begitu lekatnya dengan pencarian dasar keutamaan dalam ajaran Stoa, menggantikan peran kristianitas di Abad Pertengahan. Apalagi saat kematangan intelektual Carl Schmitt memuncak, ia dalam suasana yang begitu dinamisnya.

Jika kita bermain-main dengan analogi, yang paling mendekati apa yang ada dalam gambaran Schmitt adalah kristianitas, khususnya bangunan atau struktur Gereja Katolik. Bayangkan struktur Gereja Katolik, ada yang dinamakan hierarki dan umat. Struktur hierarkis Gereja Katolik terdiri dari dewan para Uskup dengan Paus sebagai kepalanya, dan para imam serta diakon sebagai pembantu uskup.[4] Tentu penghayatan akan struktur hierarkis Gereja Katolik ini hanya bisa dihayati dengan ‘mata iman’. Jadi, tidak usah diperdebatkan. Tetapi, bagaimana jika ini kemudian di’sekuler’kan seperti pendapat Schmitt di atas? Mungkin di sinilah benih-benih politik sayap konservatif berkembang, sekelompok orang merasa terpanggil sebagai ‘penjaga-nilai’. George Lakoff menggambarkan bagaimana ‘rasa’ konservatif atau kalau di AS sana ada di sayap ekstrem Partai Republik, dengan gambaran yang sebenarnya tidak jauh dari apa yang bisa dihayati soal hierarki oleh umat (katolik).

Machiavelli sebenarnya membidik dinamika di atas, yaitu dari sisi dinamika ‘istana’, sang pangeran, ‘yang-terpilih’. Maka tak mengherankan pula jika kemudian para yang merasa sebagai ‘si-penjaga-nilai’ yang sudah ‘di-sekuler’-kan itupun sangat akrab dengan Machiavelli. Jika di luar penuh dengan ‘domba-domba yang sesat’ kata gereja Abad Pertengahan, menurut Lakoff, kacamata konservatif juga akan melihat bahwa di luar sana penuh dengan kekacauan dan berbahaya. Maka diperlukanlah sosok ‘strict-father’ yang tidak hanya dalam mendidik anak, tetapi juga ‘mengawasi-mendidik’ kehidupan sosial.

Thomas Hobbes hampir seratus tahun setelah Machiavelli, meski sama-sama lekat dengan titik pijak manusia apa adanya, melihat dari sisi lain, lebih dari ‘luar-istana’. Kalau mau hidup bersama berkembang, bersepakatlah dan setia-lah pada si-Leviathan, si-penjaga kesepakatan.

Tentu banyak nuansa lain dari Machiavelli dan Hobbes, tetapi dari sedikit hal di atas sebenarnya sedikit banyak bisa kita lihat adanya ‘ketegangan’ yang secara terus-menerus selalu hadir dalam sejarah manusia, yaitu soal ‘yang sedikit’ dengan penguasan serba banyak, dan ‘yang banyak –sisanya’ dengan penguasaan yang serba sedikit. Bermacam peristiwa, teori, revolusi, langkah kebijakan, paradigma pembangunan, dan seterusnya, sedikit banyak tidak lepas dari masalah ini. Kata si-Bung soal sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi-pun kiranya tak lepas dari ketegangan ini. Bahkan lebih dari itu, si-Bung seakan sudah mengantisipasi menguat-hadirnya sosok Leviathan baru: modal, yang akan erat terkait dengan ‘keberesan-rezeki’.

Judul tulisan adalah “Politik Riil-nya Itu (Ternyata) Mediokerisasi” dimaksudkan sebagai upaya (tanpa henti) mengeliminir kekuatan di luar ‘istana’. Membonsai sedini mungkin munculnya kekuatan progresif. Kekuatan yang akan selalu mengusik kenyamanan ‘yang sedikit’ tetapi menguasai banyak itu. Kekuatan yang akan selalu melawan upaya-upaya me-mediokerkan kualitas hidup bersama di luar ‘istana’ nyaman mereka dengan bermacam rutenya. Dan itu sudah mulai dengan pembengkokan-pembengkokan oleh Denny JA di atas. Atau riset-riset Setara Institute itu. Bangsat! *** (02-07-2019)

 

[1] https://tirto.id/riset-setara-institute-uin-jakarta-dan-uin-bandung-fundamentalis-edma

[2] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/316-Soft-Shock-Doctrine/

[3] https://www.gelora.co/2019/07/denny-ja-prediksi-pemilu-2024.html

[4] http://www.imankatolik.or.id/hierarki.html

Politik Riil-nya Itu (Ternyata): Mediokerisasi