www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-07-2019

"Saya mendengar beliau selalu berbahasa Inggris dengan lancar dalam setiap komunikasinya dengan pimpinan negara lain. Kalau bahasa Inggrisnya tidak baik, tidak mungkin seperti Ivanka Trump atau para pimpinan negara lain sampai ketawa-ketawa saat berbincang dengan beliau," tulis Luhut di Facebook-nya, Selasa (2/7/2019). Yang dimaksud ‘beliau’ oleh Luhut adalah seorang Presiden sebuah republik dengan jumlah penduduk nomer 4 di dunia, dan lebar negaranya merentang selebar Eropa. Bukan republik ‘gambar bagong’. Dan soal grothal-grathul bahasa Inggris itu sudah berlangsung selama hampir 5 tahun, dan posisinya seakan sudah seperti ungkapan alm. Gepeng bertahun silan, ‘untung ada saya’.

Maka lima tahun terakhir ini, dan kita khawatir juga lima tahun ke depan, kita seakan hidup dalam dua dunia. Ke khalayak, dunia ala-kadarnya, ke oligark: dunia dibagi dalam bermacam kadar-nya.

Dalam pertemuan G-20 akhir Juni-awal Juli 2019 ini, PM Jepang Shinzo Abe, terkait dengan bagaimana dunia ke depan harus berkembang salah satunya mengajukan soal ‘data free flow with trust’. “We have yet to catch up with the new reality, in which data drives everything, where the D.F.F.T., the Data Free Flow with Trust, should top the agenda in our new economy,” demikian Abe, dan dilanjutkan: “to rebuild trust toward the system for international trade. That should be a system that is fair, transparent, and effective in protecting IP and also in such areas as e-commerce.”

Dalam dunia ketenaga-kerjaan, kita mengenal istilah job security, bagaimana pekerja itu dapat bekerja dalam situasi ‘aman’ dalam pekerjaannya. Artinya tidak sekedar terkait dengan K3 (Keselamatan dan Keamanan Kerja), tetapi yang lebih penting adalah ia tidak menjadi ‘obyek’ atas kesewenang-wenangan pemutusan hubungan kerja. Dengan adanya job security ini maka ia bisa merencanakan hidup di masa depan, dan bermacam lagi. DFFT yang disebut oleh Abe di atas sebenarnya tidak jauh dari job security ini, atau katakanlah ‘data security’.  Jika adanya job security para pekerja bisa merancang masa depannya, maka dengan adanya ‘data security’ ini pebisnis dan semacamnya yang sekarang ini hidup di tengah-tengah kekuatan informasi, ia akan mendapatkan peluang lebih untuk berkembang.

Jika kita cermati lebih dalam nampak bahwa ‘data security’ ini sudah melampaui ‘information security’. Soal trust dalam konten sudah terlampaui, sebab pebisnis atau apapun mau disebut dalam konteks DFFT-nya Shinzo Abe itu tentu sudah mempunyai sistem yang akan melakukan check dan recheck soal konten. Tidak hanya check dan recheck, tetapi tentu sudah ada soal apa konsekuensi jika yang terjadi adalah distrust.

Apa yang muncul dari Shinzo Abe tersebut adalah sebuah tantangan, yang jika sebagai bangsa kita akan berusaha menjawabnya dengan segala potensi yang ada, maka horizon kita akan menjadi semakin maju, dan dengan itu pula kemajuan sebagai bangsa akan juga terdampak. Tetapi mengapa salah satu yang menjadi perhatian si-Menko di atas soal grothal-grathul-nya bahasa Inggris pimpinannya? Atau lihatlah bagaimana soal situng KPU yang bahkan pemilu sudah sampai MK masih saja belum selesai. Teganya mereka-mereka itu merendahkan bangsanya sendiri! Bangsat! *** (08-07-2019)

(Bukan) Republik Ala Kadar-nya