www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-07-2019

Mawas diri itu perlu, bahkan saat menegara. Politik adalah masalah kekuasaan, maka dalam mawas diri saat menegara-pun tidak lepas dari kekuasaan, artinya: jika anda tidak mampu, maka kita akan pegang itu kekuasaan. Jika anda sebagai penyelenggara negara melenceng dari Pancasila maka kita akan berusaha menyingkirkan anda dari kekuasaan. Tentu akan ada suara keras lebih dahulu, selagi membangun kekuatan untuk merebut kekuasaan melalui jalan pemilihan umum. Dan itu tidak hanya sah, tetapi memang sebaiknya begitu.

Pemilihan umum selama Reformasi ini jika kita amati perjalanannya kelihatannya semakin menjauh dari ‘sederhana itu indah’. Dari pemilihan umum 1999 dengan proporsional tertutup sampai dengan pemilihan serentak jika kita lihat maka bukan kualitas yang meningkat, tetapi semata kerumitannya. Tidak hanya kerumitan, tetapi juga semakin mahal. Intinya adalah, kita sebagai bangsa seakan semakin sulit untuk mawas diri melalui jalan pemilihan ini. Ada bahaya di sini, ketika pemilihan sebagai sarana mawas diri menjadi tidak lagi bisa ditambah rumit dan telikungannya (baca: kecurangannya), represi menjadi pilihan. Jika uang dan kekerasan di tangan, apa sulitnya memilih presiden sesuka hati jika hanya berurusan dengan katakanlah hampir 700 orang (anggota MPR) itu? Intinya adalah sekali lagi, memperlemah kemampuan mawas diri bangsa.

Di banyak negara dengan sistem demokrasi, keberhasilan demokrasi dalam memajukan bangsanya salah satunya adalah sistem dua partai dominan-nya. Atau dua koalisi partai-partai dominan. ‘Sederhana itu indah’, mungkin itu juga yang membuat dua partai (atau dua koalisi) dominan itu lebih memudahkan bangsa melakukan mawas diri. Mungkin banyaknya calon presiden bisa menyenangkan diri tentang memaknai demokrasi, tetapi lihatlah bagaimana khalayak bisa menjadi cepat belajar ketika ada dua koalisi besar bertarung dengan masing-masing memajukan calon presidennya. ‘Kesederhanaan’ yang tidak hanya indah tetapi juga mendalam layaknya rumus E=mc2, yang mana itu menjadi memudahkan khalayak belajar. Termasuk juga belajar bagaimana bermacam kecurangan itu nyata adanya.

Kemampuan mawas diri yang sudah di-bully tanpa henti ini sudah jelas outcome-nya, keberesan politik dan terutama keberesan rezeki yang tidak pernah nampak ujung cerahnya. Keberesan rezeki yang tetap di tangan sekelompok kecil saja. Maka, tidak usah diurus-lah itu yang namanya rekonsiliasi. Yang kita perlukan adalah kemampunan mawas diri, dan bukan ilusi rekonsiliasi. *** (14-07-2019)

Rekonsiliasi dan Mawas Diri

gallery/pinokio2