www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-07-2019

Tiga tahun sebelum 2017, dikembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai Common Reporting Standard sebagai standar informasi antar bank dalam konteks Automatic Exchange of Information. Program yang erat terkait dengan perpajakan ini diharapkan efektif di tahun 2017. Nampaknya ini juga terkait dengan marak dan tidak terjangkaunya pusat-pusat ‘bank-bebas-pajak’ (tax haven) yang mana ini telah menjadi tempat ‘pengampunan-pajak’ bagi uang-uang yang sebagian besar adalah berasal dari ‘dunia kegelapan’. Nampaknya ini juga yang mendorong adanya ‘tax amnesty’ sebelum 2017 di republik yang di tahun 2014 menyelengggarakan pemilu. Sedikit (atau banyak?) ada aroma ‘money laundering’ besar-besaran. Dan tentu ada biayanya untuk itu.

500 tahun sebelum 2017, 400 tahun sebelum pecahnya Revolusi Bolshevik (Revolusi Oktober menurut tanggalan Rusia waktu itu/kalender Julian), atau tepatnya pada 31 Oktober 1517 Martin Luther mengirim pamflet Ninety-five Theses atau Disputation on the Power of Indulgences ke Uskup di Mainz (bagian Jerman sekarang). ‘Pemberontakan’ Martin Luther atas otoritas Gereja di bawah Paus saat itu dipicu oleh di-perjual-beli-kan surat indulgensi oleh otoritas Gereja, sebuah (surat) pengampunan atas dosa-dosa. Tidak jauh dari apa yang disediakan otoritas tertentu yang menyediakan fasilitas tax haven yang kemudian dimanfaatkan oleh uang-uang yang sarat akan ‘dosa’, mencuci diri dari ‘ke-dosa-an’nya, terlebih dari terkaman pajak.

Yang menarik di sini adalah kondisi-kondisi apa yang membuat Martin Luther di tahun 1517 berani secara head-to-head melawan otoritas gereja yang lebih dari 1000 tahun telah berdiri kokoh itu? Kita mungkin bisa berangkat dari pendapat Leo Strauss terkait dengan Machiavelli. Leo Strauss melihat Machiavelli adalah pioner dari sebuah era dimana itu ditandai dengan keterputusan dengan ke-teosentris-an Abad Pertengahan. Tetapi menurut Strauss, ada satu yang diteruskan oleh Machiavelli dari yang dominan di Abad pertengahan itu (di Eropa), yaitu peran penting ‘propaganda’ dalam kristianitas Abad Pertengahan. Dalam ranah ‘propaganda’ ini kita melihat lebih jauh.

Abad Pertengahan bisa dikatakan pula sebagai era manuskrip, dimana dari segi jumlah dan penyebarannya-pun sangat terbatas. Maka modus ‘komunikasi massa’-nya pun akan banyak terjadi secara tatap-muka langsung, face-to-face atau kalau meminjam term Alvin Toffler, man-to-man, dimana kekuatan oralitas akan sangat menentukan. Suara, sound, menurut Walter J. Ong akan mempunyai kecenderungan mempersatukan. Maka tidaklah mengherankan, ‘propaganda’ yang dilakukan oleh sedikit orang –kalangan Gereja, kerajaan, bangsawan, dan kaum terpelajar dari universitas-universitas, yang menguasai bermacam pengetahuan dalam manuskrip-pun dapat berjalan begitu efektifnya, dan mampu menyangga ke-kokoh-an Gereja lebih dari 1000 tahun.

Penemuan yang signifikan di tahun 1450-an, inovasi mesin cetak logam dari Guttenberg kelihatannya mengubah banyak hal. Di tahun-tahun Martin Luther hidup telah dicetak Bible hampir satu juta buku, dan juga terjemahannya dalam berbagai bahasa. Dampak dari merebaknya buku-buku ini, yang juga oleh Ben Anderson sebagai ‘print capitalism’ sungguh dahsyat. Monopoli pengetahuan era manuskrip telah tergeser perlahan-lahan. Sound, suara yang dominan dalam ‘komunikasi massa’-pun juga mulai kehilangan sifat dominannya dengan datangnya bermacam produk cetak, yang modusnya adalah melihat. Dan masih menurut Walter J. Ong, modus melihat tersebut mempunyai kecenderungan ‘memecah-belah’. Masing-masing ‘si-penglihat’ mempunyai kebebasan penuh untuk mengartikan atau mengimajinasikan apa-apa yang dilihatnya, apa-apa yang dibacanya. Tetapi meski cenderung ‘memecah belah’, di satu pihak diterjemahkannya Bible di bermacam bahasa itu menurut Ben Anderson dalam Imagined Communities (Komunitas Terbayang) telah mendorong munculnya negara-negara nasional.

Penemuan mesin cetak itu akhirnya mendorong berkembangnya modus komunikasi yang disebut Alvin Toffler sebagai modus man-to-mass, dari surat kabar, radio, dan kemudian memuncak dengan adanya inovasi televisi. Baik radio maupun televisi-pun dalam banyak hal juga membawa kekuatan oralitas, atau dalam hal ini ‘oralitas sekunder’ –dengan segala ‘kekuatan’ yang dibawanya. Era perjuangan dan ‘Orde Lama’ serta ‘Orde Baru’ modus komunikasi republik sangan erat dengan modus tatap muka, man-to-man, dan man-to-mass, dengan masih lekatnya dengan oralitas. Jelas pada masa perjuangan dan ‘Orde Lama’ dominan pada modus tatap muka, dan dengan bebasnya bermacam basis ideologi politik berperan, masing-masing kemudian melahirkan kepemimpinan yang tangguh dalam olah oralitasnya. Karena oralitas mempunyai daya lebih dalam mempersatukan, maka kadang perbedaan antar basis ideologi-pun bisa menajam pula. Maka pada masanya, ‘yang teratas’ dalam olah oralitas-lah yang kemudian mampu menjaga perbedaan tidak menjadi hal yang menghancurkan.

Masuk ke ‘Orde Baru’, ‘penyederhanaan’ partai dan pe-maksimalan (monopoli) modus komunikasi man-to-mass dengan ‘oralitas sekunder’-nya (melalui TVRI) telah ‘berhasil’ menahan penajaman ke-perbedaan basis ideologi politik. Dan sekaligus juga menjadi sulit sekali dilahirkannya pemimpin-pemimpin dengan ‘olah-oralitas’ –retorika, yang mumpuni.

Butuh waktu sekitar 500 tahun setelah penemuan mesin cetak Guttenberg, modus mass-to-mass mulai merangkak untuk perlahan menampakan wajah raksasanya. Di tahun 1992 anak republik untuk pertama-kalinya berkirim surat elektronik. Dan bagaimana media sosial dan internet secara efektif terlibat dalam pemilihan di tahun-tahun 2010-an dan seterusnya. Setelah pemilihan umum 2014, ketrampilan dalam merambah dunia digital ini sudah merata di ‘semua pihak’. Modus mass-to-mass yang lebih banyak melibatkan ‘mata’ daripada ‘telinga’. ‘Modus mass-to-mass’ dan ‘global flows of wealth, power, and images’ yang dikatakan oleh Manuel Castells akan mendorong: “People increasingly organize their meaning not around what they do but on the basis of what they are, or believe they are.” Apalagi ketika ‘aroma kematian’ yang nyata mendekat karena kelaparan dan gempa bumi, pemimpinnya justru sangat tangkas dalam mengunggah vlog potong rambut-nya beserta cita-citanya untuk potong model undercut. Cuk, piyé jal iki ...!

Di satu sisi, kekuatan korporasi entah itu ia hidup dalam kekuatan komunikasi man-to-man, man-to-mass, atau mass-to-mass, ada kecenderungan yang konstan: merger. *** (23-07-2019)

2017 dan 500 Tahun Sebelumnya