www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-07-2019

Pemahaman praktis dari sesuatu yang disebut sebagai ‘rejim terbaik’ bisa melalui rute dari apa yang disebut sebagai ‘warga negara yang baik’ yang mana melalui Aristoteles kita dapat juga meraba ambiguitasnya.[1] Dalam Constitution of Athens Aristoteles berpendapat bahwa warga negara yang baik adalah warga yang berjuang bagi negaranya dengan tidak peduli dengan rejim yang sedang berkuasa. Jadi warga negara yang baik adalah warga negara yang patriotik, the man whose loyalty belongs first and last to his fatherland.

Tetapi dalam Politics, Aristoteles mengatakan bahwa tidak ada warga negara yang baik tanpa kualifikasi tertentu, dan ini juga berarti bahwa menjadi warga negara yang baik sepenuhnya tergantung dari rejim yang sedang berkuasa. Warga negara Jerman saat Hitler berkuasa bisa jadi adalah warga negara yang baik saat itu di Jerman, tetapi tidak di tempat lainnya, atau waktu lainnya. Tetapi meski warga negara yang baik kemudian menjadi relatif tergantung pada rejim yang sedang berkuasa, menjadi ‘orang baik’ tidak masuk relatifitas seperti itu. Artinya, menjadi ‘orang baik’ adalah sama di semua tempat.

Pada situasi apa ‘warga negara yang baik’ itu identik dengan’orang yang baik’? Disimpulkan oleh Leo Strauss dalam bacaannya dua tulisan Aristoteles di atas, “The good man is identical with the good citizen only in one case – in the case of the best regime. For only in the best regime is the good of the regime and the good of the good man identical, that goal being virtue.” Dan menurut Strauss, filsafat politik klasik  “is guided by the question of the best regime.” Yang ini menurut Strauss dari bacaannya tentang Machiavelli, bisa menjadi sumber pertikaian yang tidak ada habisnya. Machiavelli mengajarkan, mengapa tidak berusaha mencapai yang bisa dicapai saja? Masalahnya, yang bisa dicapai oleh siapa?

Terkait dengan rejim ini sering kita mendengar bahwa demokrasi adalah rejim terbaik dari yang terburuk. Seolah-olah di luar demokrasi karena ada dalam ranah terburuk dengan serta merta sudah terkubur dalam-dalam. Leo Strauss sedikit menyinggung soal mixed constitutions yang mana justru oleh Antonio Negri dan Michael Hardt menjadi tesis utama dalam bukunya Empire (2000). Lepas dari kategori baik-buruk-yang terbaik dari yang terburuk-yang terburuk dari yang terbaik, dan seterusnya, Negri dan Hardt menyoroti bagaimana monarki, oligarki, dan demokrasi dipraktekkan dalam suatu mixed constitutions. Hal yang sebenarnya sudah diamati oleh Polibius di jaman Yunani Kuno, kira-kira 200 tahun Sebelum Masehi.

Dalam masa Orde Baru relatif mixed constitutions ini dapat dijalankan, dimana Pak Harto dalam praktek ada dalam ranah monarki dengan penyangga utama adalah tentara (karena adanya dalam monarki salah satu hal pentingnya adalah melindungi warga dan tumpah darah dari serangan bangsa asing), oligarki diisi oleh ketua-ketua partai (‘tunjukan’ sang raja), konglomerat yang mendapat perlindungan dari sang raja, dan beberapa ‘bangsawan’ baik karena pertalian darah atau lainnya, misal dari kalangan cerdik-pandai. Demokrasi adalah konsumsi rakyat. Dan sesuai dengan tulisan Polibius ada masanya Kekaisaran Romawi dapat bertahan lama dan stabil yaitu ketika mixed constitutions ini diterapkan maka tak beda juga dengan era Orde Baru. Selain juga bagaimanapun Orde Baru adalah juga ‘anak’ Perang Dingin, sehingga selama ia ada di satu blok tertentu, maka back-up-pun akan mengalir. Tentu inipun tidak gratis.

Ketika sang raja wafat maka monarki-pun goyah, tetapi tidak kemudian serta merta dengan oligarkinya seperti disinyalir oleh Jeffrey Winters, hancurnya rejim otoriter bukan berarti hancurnya juga kaum oligarkinya. Dan terbukti, baik oligarki ‘berbasis’ pertalian darah, atau pertalian modal, atau campurannya, atau dari sebagian kalangan cerdik-pandai, tetap bertahan dan bahkan perlahan berkembang dan membiak. Kalau dulu di era Orde Baru wajah kaum oligark ini tersamarkan dalam bayang-bayang sang raja, sekarang ‘terpaksa’ harus menampakkan wajah aslinya. Ambisinya masing-masing. Patron-asli-nya, dan seterusnya. Kalau dulu si raja ada di blok A semasa Perang Dingin misalnya, dan sebagian oligark yang dalam ‘hati terdalamnya’ ada di blok B misalnya, setelah sang raja wafat maka mulai tidak sungkan lagi menampakkan apa yang ada di’hati terdalam’-nya lagi.

Para oligark ini sangat percaya pada John Locke, bahwa salah satu tugas negara yang paling penting adalah melindungi harta yang diperoleh dari adanya hak ‘mengumpulkan harta’. Dan memberikan punishment bagi yang mengganggu hak tersebut. Dan itu terutama dan pertama-tama bagi dirinya sendiri dulu, kaum oligark. Ketika sang-raja wafat dan dunia Perang Dingin berakhir, serta mulai merangkaknya apa yang disebut Negri dan Hardt sebagai Empire [2], maka penghayatan kaum oligark akan sosok sang-raja dan ‘patron-global’-pun mengalami pergeseran. Itulah mungkin juga bahwa bukannya kebetulan ketika SBY menampilkan diri sebagai ‘jenderal yang kekanak-kanakan’, suka berpuisi dan buat lagu serta main gitar . Diam saja saat dikatakan cengeng. Menampilkan diri sebagai bukan ‘orang kuat’ yang potensial mengganggu Empire. Tetapi bagaimana-pun akhirnya kaum oligark memerlukan ‘sang-raja’ untuk melindungi hak ‘mengumpulkan harta’ yang sudah seperti tanpa batas itu, dan ‘sang-raja’ yang akan memberikan hukuman bagi yang mengganggu hak tersebut. Maka akhirnya bukan sang-raja yang ‘melahirkan’ bangsawan-bangsawannya, tetapi bangsawan-bangsawan atau kaum oligark-lah yang melahirkan sang-raja. Atau tepatnya, raja-raja-an. Yang tampilannya jauh di bawah dari buat lagu, main gitar, atau cengeng. Kalau perlu justru yang plonga-plongo, pah-poh.

Maka bangunan monarki yang sesungguhnya adalah di luar republik. Dimana dalam dinamikanya menjadi begitu terasa di republik. ‘Monarki’ dalam negeri adalah hanya untuk melindungi hak ‘mengumpulkan harta’ terutama bagi mereka kaum oligark, dan memberikan hukuman bagi yang mengganggu hak mereka. Dan sangat jelas bukan untuk melindungi tumpah-darah. Maka penyangga utama sang-raja-raja-an ini bukanlah dari tentara, tetapi polisi. “Negara polisi’, demikian Negri dan Hardt menyebut.  Maka tak heran pula jika ada lembaga ‘super-body’ anti-rasuah yang kemudian dibidik pula untuk dikuasai supaya kompatibel dengan ‘negara polisi’ itu.

Bagaimana dengan demokrasi? Kata Mbak Titiek, jaman Orde Baru memang curang, tetapi yang sekarang ini lebih curang. Sebagai rejim, seperti katakanlah rejim otoriter misalnya, kemudian ada yang menambahkan jenis atau ‘varian’ lain, misal: ‘otoriter yang baik hati’, demikian juga demokrasi. Ada yang menambahkan seperti demokrasi seolah-olah, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan banyak lagi. Dan mengacu dari pernyataan Mbak Titiek, ada juga demokrasi yang curang. Atau jika demokrasi adalah salah satu rejim, sebut saja sebagai rejim curang. Dan itulah konsumsi rakyat, sayangnya itu pula yang sedang menapak tahap stabilisasi. Fase stabilisasi rejim curang. Ketika kecurangan disamarkan dengan segala hal sehingga terhayati sebagai semuanya ‘baik-baik’ saja, dan kemudian perlahan tapi pasti masuk dalam tahap ‘pembiasaan’ yang akhirnya tanpa disadari sudah ‘terlembagakan’. Bangsat! *** (26-07-2019)

 

[1] Seluruh bahasan mengenai ‘rejim’ diambil dari Leo Strauss, What is Political Philosopy, hlm. 33-36

[2] Lihat juga https://www.pergerakankebangsaan.com/306-Empire-Polybius-Carl-Schmitt-Negri-Hardt/ dan https://www.pergerakankebangsaan.com/318-Dua-Little-Empire/

Fase Stabilisasi Rejim Curang

gallery/pinokio2