www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-08-2019

Ketika ‘petugas partai’ itu begitu bangganya dengan slogan ‘kerja-kerja-kerja’ selama 5 tahun, tiba-tiba saja di penghujung tahun ke-5-nya si-‘pemberi tugas’ melontarkan kekhawatiran soal ‘perang saudara’. Ketika aksi berjalan sambil menggulung lengan baju dicitrakan sebagai ‘kerja-kerja-kerja’, tiba-tiba saja ada yang membayangkan di banyak tempat orang menggulung baju sebagai tanda siap berkelahi. Dua hal ini sebenarnya bisa sebagai pintu masuk untuk merenungkan dua yang mendasar dalam hidup bernegara-berbangsa kita, Proklamasi dan Pancasila.

Proklamasi merupakan tekad soal kedaulatan menjadi negara merdeka. Dan Pancasila adalah merupakan dasar yang disepakati bagaimana negara yang merdeka itu dijalankan. Dijalankan oleh pemerintah Indonesia, demikian menurut Pembukaan UUD 1945, alinea-4. Dan dua hal itu mesti dihayati sebagai hal yang hadir tidak di ruang kosong. Mereka ada dalam suasana kebatinan dan endapan-endapan panjang perjalanan bangsa. Tetapi ada satu hal yang paling mendasar di mana suasana kebatinan akan diletakkan di atasnya, yaitu rasa keadilan. Karena rasa keadilan yang terusiklah perjuangan melawan penjajahan itu menjadi begitu bertenaga. Maka tidaklah berlebihan jika kemudian kita menghayati Pancasila tidak lepas dari soal rasa keadilan itu. Bagaimana dengan berdasarkan Pancasila, negara yang merdeka 17 Agustus 1945 itu akan menempatkan keadilan sebagai penghayatan utama dalam kebijakan-kebijakannya. Dalam tindakan-tindakannya. Oleh penyelenggara negara, pemerintah Indonesia.

Dom Helder Camara pernah memperkenalkan istilah spiral kekerasan, dan itu erat terkait dengan masalah keadilan. Ketika ke-tidak-adil-an justru membiak dari keputusan dan tindakan politik dari si-penguasa, maka ini akan mengakibatkan adanya respon, ada reaksi warga yang jika tidak dikelola dengan baik maka bisa berujung pada kekerasan yang mungkin saja masih minimal. Jika kekerasan dalam respon ketidakadilan ini dihadapi dengan kekerasan juga, maka justru akan lebih menampakkan ketidakadilan yang semakin besar. Dan respon atas inipun bisa berujung pada kekerasan yang meningkat, demikian juga kekerasan yang dipakai oleh si-pemegang kekuasaan, dan seterusnya. Dari banyak jejak digital, kekhawatiran soal ‘perang saudara’ ini bisa dilihat sedikit banyak dari spiral kekerasan ini, dalam bentuk bermacam ‘kekerasan’-nya, baik itu ‘kekerasan verbal’ maupun ‘kekerasan legal’ dalam arti hukum yang nampak telanjang tidak berlaku adil ke semua pihak, dan kekerasan-kekerasan lainnya.

Mengapa ‘kerja-kerja-kerja’ selama 5 tahun itu diujung tahun ke-lima-nya tiba-tiba ada kekhawatiran soal ‘perang saudara’? Jika penekanan pada ‘kerja-kerja-kerja’ itu bisa kita lihat sebagai sebuah pendekatan pragmatis maka memang kemudian masalah keadilan berpotensi untuk dimarjinalkan, dipinggirkan lebih dahulu. Dan tidak hanya itu, jika tidak hati-hati justru hal tersebut bisa sebagai sebuah tirai asap yang menyembunyikan maksud sebenarnya di balik ‘kerja-kerja-kerja’ itu. Atas nama ‘kerja-kerja-kerja’ bermacam dan luasnya dimensi dalam sebuah keputusan kemudian dipersempit. Tentu ketika sebuah kebakaran nampak mulai terjadi, tindakan pragmatis kita adalah langsung ambil ember, isi air dan guyurkan, tanpa harus diskusi dulu. Tetapi banyak urusan negara itu tidaklah seperti menghadapi kebakaran itu.

Jadi yang menjadi ‘titik-temu’ antara ‘kerja-kerja-kerja’ dan ‘perang saudara’ itu nampaknya adalah rasa keadilan, atau ‘rasa ke-tidak-adil-an’ yang perlahan menyelusup dalam suasana kebatinan bersama. Dan jelas ini tidak hanya cukup dihadapi dengan sikap sok-sok-an itu, entah sok-heran, sok-marah, sok-malu, sampai dengan yang sebenarnya mengkhawatirkan, sok-Pancasila. *** (14-08-2019)

'Kerja-kerja-kerja' dan 'Perang Saudara'