www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-08-2019

Menurut lingkaran dalam istana, sumber daya manusia yang unggul itu terdiri unsur-unsur intelectual capital, emotional capital, psychology capital, social capital, dan spiritual capital. Hal ini diungkap oleh Moeldoko beberapa hari sebelum peringatan kemerdekaan republik. Adalah baik-baik saja mengungkap sederet ‘capital’ tersebut, masalahnya bagaimana kita akan mencapainya? Rasa-rasanya lima tahun lalu kita dibuai soal ‘revolusi mental’ itu. Lima tahun kemudian jika mengingat gegap gempitanya ujaran ‘revolusi mental’ itu rasa-rasanya kok malah menjadi menyakitkan, terpapar ‘ujaran palsu’. Tetapi apapun itu, bicara soal peningkatan sumber daya manusia tetaplah harus didukung oleh siapapun.

Saat Perang Dunia memuncak, di Belanda sana ada wilayah yang terpapar kelaparan hebat. Dan dalam penelitian berpuluh tahun kemudian, anak-cucu dari orang tua yang terpapar kelaparan tersebut ternyata mengindap bermacam penyakit yang sifatnya diturunkan. Kemudian dicurigai bahwa kelaparan itu juga mempengaruhi dinamika yang ada disekitar gen, dan akan mempengaruhi gen yang juga akhirnya diturunkan juga. Dan dengan itu pula ditambah dengan penelitian-penelitian awal pada binatang, berkembanglah apa yang disebut sebagai epigenetic. Sesuatu beyond genetik yang akan ikut mempengaruhi gen, dan kemudian bersifat menurun. Jadi ini lebih dari sekedar perdebatan antara nature dan nurture itu. Atau mungkin kita bayangkan, ada orangtua yang tidak mempunyai penyakit asthma yang banyak juga diyakini kuat ada faktor keturunan. Tetapi ia terpapar kabut asap hasil kebakaran hutan yang selalu berulang dengan intensitas tinggi. Mungkin tidak hanya ia saja kemudian mempunyai penyakit asthma, tetapi ada perubahan disekitar gennya yang akhirnya mempengaruhi gen dia tersebut sehingga anak-cucunya secara potensial nantinya akan mempunyai kecenderungan akan asthma juga. Kira-kira begitu. Meski berikut ini butuh penelitian yang lebih dalam lagi, rasa-rasanya dengan peningkatan status gizi orang tua, anak-anak sekarang nampak lebih mempunyai tampilan luar yang ‘lebih baik’ dan ini jika akan menerus ke generasi selanjutnya, baik tampilan wajah maupun perawakannya akan nampak ‘lebih baik’.

Apa yang kita bisa ambil pelajaran dari berkembangnya epigenetik dalam ‘dunia-super-kecil’ tubuh kita itu? Pengaruh lingkungan itu ternyata tidak hanya mempengaruhi kita sekarang, tetapi juga generasi-generasi kita selanjutnya! Dan apakah ‘logika-dunia-epigenetik’ ini juga akan mempengaruhi sederet ‘capital’ di atas, intelectual capital, emotional capital, psychology capital, social capital, dan spiritual capital? Dan apa yang berdaya ungkit besar sehingga bermacam ‘capital’ itu tidak hanya meningkat di masa kita hidup, tetapi juga akan mempengaruhi juga generasi selanjutnya?

Tentu yang utama adalah masalah status gizi dan terhindarnya dari paparan bermacam penyakit. Maka jika ada yang mengkritik bermacam proyek triliunan yang secara tidak langsung akan menyedot perhatian atau sumber-daya dalam meningkatkan status gizi (baca juga: kesejahteraan umum) masyarakat kebanyakan dengan bermacam rutenya, ini adalah juga masalah kuatnya generasi yang akan datang. Termasuk juga bagi yang sebenarnya mempunyai kemampuan terbatas dalam mengelola BPJS itu, kok ya masih dipertahankan. Jika yang terkait dengan status gizi dan terhindarnya dari berbagai penyakit itu adalah sebuah rumah yang akan kita wariskan juga nantinya, ada hal lain sehingga rumah itu bisa disebut dengan rumah, yaitu segala ‘ekspresi emosi’ kita. Tidak hanya ‘tembok-tembok’-nya saja, tetapi juga ‘suasana kebatinan’ rumah itu. Dan unsur utama dari ‘suasana kebatinan’ itu adalah bahasa.

Robert Levy di tahun 1973, menerbitkan hasil penelitian lamanya di Tahiti terkait dengan tingginya tingkat bunuh diri waktu itu. Levy kemudian mengajukan soal hipokognisi sebagai penyebab utama tingginya tingkat bunuh diri itu. Dalam masyarakat Tahiti yang ditelitinya waktu itu, tidaklah ada kata-kata yang menggambarkan rasa sedih yang mendalam ketika seseorang kehilangan sesuatu yang begitu berharga dalam hidupnya. Dikatakan oleh Levy, hanya perasaan tidak enak, menyakitkan, dan sekitarnya untuk menggambarkan rasa kehilangan yang mendalam itu. Atau mungkin kita bisa berandai-andai, dampak yang tidak terduga dari Politik Etis di awal abad 20-an di nusantara adalah juga retaknya bermacam hipokognisi ini? Atau bayangkan ada satu suku di Amazon sana dulu yang hanya mengenal ‘bahasa numerik’-nya sebagai satu, dua, dan banyak. Kosa kata baru semakin masuk dalam kesadaran memberikan ‘pencerahan’ terhadap situasi yang sedang dihadapi, dan terus bertambah kaya. Dan karena jumlah semakin banyak dan meningkatnya intensitas ‘intersubyektifitas’ maka distribusi dan ‘penetrasi’ kosa kata – kosa kata baru itu semakin mempengaruhi jiwa emosional banyak orang, atau sebut saja, para pejuang kemerdekaan. Hubungan ‘timbal-balik’ antara realitas yang dihadapi dan retaknya hipokognisi membuat imajinasi kebangsaan menjadi semakin berkembang, dan tidak jauh berbeda jika melihat bagaimana merebaknya hasil cetakan dalam berbagai bahasa lokal di Eropa abad 16-an yang mendorong tumbuhnya negara-negara nasional mereka.

Maka bahasa bagi manusia ternyata dampaknya bisa begitu bermacamnya. Dan dengan melihat perjalanan manusia, bahasa kemudian bisa menjadi salah satu ‘titik sentral dari bermacam pertempuran’. Dalam pertempuran ‘siapa-menguasai-siapa’ misalnya, jelas siapa saja akan menaruh perhatian besar terkait dengan peran bahasa ini. Dan itu akan melebihi dari sekedar ‘mencintai bahasa  sepertihalnya mencintai produk-produk Indonesia’. Lihat juga apa yang dibongkar oleh Syedd Husein Alatas (1974) terkait dengan term ‘lazy native’ yang dipakai penjajah untuk ‘pembenaran’ laku penjajahannya. “Teori tentang bintang tidak akan mengubah apapun esensi dari bintang, tetapi teori tentang manusia akan mempengaruhi dan ikut menentukan hidup manusia,” demikian Abraham J. Haeschel. Dan itu tidak bisa tidak akan menggunakan bahasa juga.

Apa yang kita rasakan di pendidikan dasar kita terutama SD, imajinasi tentang ‘anak-hebat-tahu-banyak’ nampaknya justru yang ‘nyrimpeti’ atau menghambat pengembangan ke-berbahasa-an anak. Mulai dari berani berucap, menyimak dan menghargai teman yang sedang bicara, sampai dengan nantinya belajar bahasa sampai tingkat SLTA yang diperkaya dengan logika dan kekayaan bahasa dalam dunia sastra. Juga retorika. Sayangnya, bertahun terakhir ini kita terlalu sering tidak hanya oleh sajian bahasa ona-anu-ona-anu, tetapi juga bahasa sebagai alat nggedebus, omong kosong dari ‘pemimpin-pemimpin’ itu. Maka sah juga jika hal-hal seperti ini perlahan kita kawatir akan mempengaruhi gen kita juga, dan akan menurun ke generasi berikutnya. Jadi mau bicara intelectual capital, emotional capital, psychology capital, social capital, dan spiritual capital? Saran saja, perbaiki pengembangan ke-berbahasa-an mulai dari tingkat SD, dan dalam keluarga. Dan yang tidak boleh dilupakan, perbaiki bahasa para pemimpin itu dulu, terlebih soal kesesuaian antara apa yang diucap dengan apa yang dilakukan. Jika itu dilakukan, itulah juga yang akan berdaya ungkit besar. *** (17-08-2019)

Sederet 'Capital' Itu

gallery/jokowi karnaval