www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-08-2019

Apa yang menjadi penghubung antara ‘bintang penuntun’ Pancasila misalnya, dan realitas sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara? Menjadi axis mundi yang ada diantara ‘bintang penuntun’ Pancasila itu dengan realitas di atas bumi NKRI serta ‘suasana kebatinan’ terdalam yang seakan bergejolak di bawah permukaan itu? Dalam satu sisi hidup manusia, ada istilah yang sebenarnya sadar-atau-tidak memakai logika axis mundi ini, yaitu istilah atau bahkan ‘ideologi’ too big to fail. Menurut Ben Bernanke pimpinan Federal Reserve di tahun 2010, "A too-big-to-fail firm is one whose size, complexity, interconnectedness, and critical functions are such that, should the firm go unexpectedly into liquidation, the rest of the financial system and the economy would face severe adverse consequences." Sebuah ‘ideologi’ rasa ‘kapitalisme korporat’, atau kalau dilihat lebih luas, ‘ideologi’ dalam bayang-bayang lepasnya ekonomi dari satu masyarakat yang lebih luas, disembadded dalam term Karl Polanyi (1944). Tetapi ketika terjadi masalah besar, langsung dengan sigap mendekat dan minta masyarakat untuk ikut menyelamatkan sebab, ya itu tadi, too big to fail yang jika kegagalannya itu terjadi, akan mengganggu juga masyarakat, karena besarnya ‘ukuran’ misalnya.

Bagi yang mau melihat bagaimana suatu kelompok masyarakat dapat begitu berhasilnya dalam membangun kekuatan ekonominya maka mungkin akan sampai pada kesimpulan bahwa masalah ekonomi itu ternyata tidaklah lepas dari tatanan yang lebih luas. Tata masyarakat yang lebih luas itu ternyata bisa memberikan satu ‘background’ tertentu dalam keberhasilan bangunan ekonominya. Maka too big to fail-pun menjadi tidak hanya berurusan dari raksasanya ukuran sebuah perusahaan atau institusi ekonomi lainnya, tetapi juga katakanlah axis mundi yang memberikan ‘tertib kelola’ dalam masyarakat itu juga.

Pertanyaannya adalah, apa unsur utama dalam bangunan axis mundi itu? Atau sebelumnya, apa atau siapa si-axis mundi itu? Yang merupakan ‘penghubung’ antara si-bintang penuntun dan manusia-manusia yang hidup di atas NKRI ini, lengkap dengan ‘suasana kebatinan’-nya? Dalam monarki, axis mundi ada di sekitar raja, atau yang ‘dimuliakan’ oleh sang-raja, atau bahkan si-raja sendiri, di alam demokrasi? Semestinya-lah yang disepakati dalam sebuah pemilihan, si-terpilih. Jadi bukan bangunan, atau bagian dari istana, atau tugu, atau yang semacamnya. Dan bahkan juga bukan sistem. Bukan juga artificial-intelligence, bukan robot. Tetapi karena sebuah pemilihan adalah memilih orang, maka secara tidak langsung si-terpilih itupun kemudian akan juga terhayati sebagai axis-mundi itu. Ia ada di antara ‘bintang penuntun’ dan realitas yang sehari-hari di hadapi oleh rakyat yang memilihnya. Maka pertanyaan berikutnya adalah, apa sebenarnya unsur utamanya? Trust! Kepercayaanlah unsur utamanya.

Tidak ada satu bentuk axis mundi tanpa dihidup-hidupi oleh ‘kepercayaan’, trust. Kepercayaan bahwa dengan adanya axis mundi itu, yang chaos akan menuju ke kosmos. Maka adalah sangat benar misalnya dalam tradisi konfusius dikenal istilah shangshangce dalam memilih seorang pemimpin.[1] Memilih pemimpin terbaik dari yang terbaik, pemimpin dengan kaliber tertinggi. Karena tidak hanya soal kepercayaan semata, tetapi kepercayaan yang diletakkan di tempat adanya ketegangan antara ‘bintang penuntun’ dan realitas sehari-hari yang dihadapi rakyatnya.

Maka ketika unsur kepercayaan ini terasa penuh keretakkan maka sebenarnya unsur utama yang menjadikannya ia sebagai layaknya sebuah axis mundi-pun akan mengalami keretakan pula. Kosmos-pun perlahan terasa meluncur menuju chaos. Sebuah ‘suasana kebatinan’ yang ‘aneh’, ‘tidak-mengenakkan’-pun berkembang. Bahkan ketika dikerahkan ‘massa bayaran’, entah bayaran dalam arti uang atau kepentingan, dikerahkan untuk menyembahnya, memuji-muji setinggi langit, dan menyerahkan ‘kepercayaannya’ secara membabi-buta, tetaplah ‘suasana kebatinan’ yang ‘aneh’, ‘tidak-mengenakkan’ itu akan terus berkembang. Omong-kosong, nggedebus seenaknya tanpa lihat-lihat tempat, ona-anu-ona-anu asal njeplak, ringannya ingkar janji itu sudah begitu merusak hal mendasar atas sebuah kepemimpinan, merusak unsur utama sebuah axis mundi, yaitu kepercayaan. Dan sayangnya, solusi jalur gampang terkait masalah tersebut kadang begitu menggodanya, solusi kekerasan –dalam bermacam bentuknya, dari menebar stigma(tisasi) sampai dengan menebar peluru kalau perlu. Dengan tanpa pernah mau bercermin diri ujungnya sebagai pembenaran ‘solusi gampang jalan kekerasan’ itu dipakailah ‘ideologi’ too big to fail itu juga, yang di tangan mereka akan berbunyi: ‘demi’ itu .... atas nama ini, atas nama itu, atas nama ona, dan atas nama anu, dan seterusnya. Intinya atas nama yang serba ‘big’ itu. Dan inilah harga yang harus dibayar republik ketika republik ditelikung habis demi seorang pemimpin kaliber medioker. Padahal, bagi rakyat atau si-pemilih, kepercayaan, trust itulah 'big' yang sebenarnya. *** (18-08-2019)

 

[1] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/018-Shangshangce/

Rusaknya Hal Mendasar

gallery/pinokio