www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-08-2019

Hampir sembilan tahun ini banyak hal sebagai pembelajaran bersama. Selain sudah disebut pada tulisan terdahulu[1] mungkin ada yang bisa juga diajukan sebagai pembelajaran, yaitu soal katakanlah antara: Machiavelli menumpuk kuasa dan Machiavelli menumpuk harta [2], atau soal keprimeran politikal dan keprimeran ekonomikal. Atau yang bisa semakin dirasakan, sebuah ‘radikalisme’ dari keprimeran ekonomikal, yang karena ke-radikalannya itu tidak hanya membuat politik kehilangan keprimerannya menjadi sekunder, tersier, tetapi dikelola dengan ugal-ugalan, dan bahkan dengan cengèngèsan. Dan bahkan lagi sering dimajukan kepada khalayak sebagai hiburan saja.

Dan yang dituai? Ketika yang ditebar ‘ekonomi’ dalam keprimeran ekonomikal tidak hanya soal trade dan finance, tetapi juga gurita rent seeking activities yang semakin menggila itu? Dan ketika politik berubah tidak hanya sekedar pelayan, tetapi budak keprimeran ekonomikal seperti itu? Dalam tingkat kelola negara, keputusan sebuah kebijakan ekonomi adalah pasti juga keputusan politik. Bayang-bayang siapa mendapat apa, kapan, bagaimana, berapa, dan seterusnya, tidak akan pernah steril dalam keputusan (ekonomi) itu. Mengapa ‘menteri terbalik’ itu memutuskan ini dan itu, dia pastilah tidak lepas dari cara pandang tertentu, bahkan ‘ideologi’ tertentu.

Jika politik tidak mungkin lepas dari kekuasaan, power, dan bahkan ada yang meyakini bahwa politik adalah sebangun dengan kekuasaan itu sendiri, maka paling tidak ada dua hal yang harus diperhatikan, hal merebut dan menggunakan kekuasaan itu. Jadi bukan hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi juga penggunaan kekuasaan. Atau dalam kata-kata Machiavelli: “Anda seorang raja atau seorang yang sedang merintis menjadi raja?[3] Bukan hanya soal kecurangan dalam merebut kuasa, tetapi juga soal mbèlgèdès-nya kuasa digunakan, misalnya. Apakah penggunaan kekuasaan itu hanya sebatas demi mempertahankan kekuasaan? Menjadi seperti lingkaran tanpa ujung? Putaran yang seakan selalu kembali ke langgengnya pakta dominasi yang penuh ketimpangan itu? Atau seperti Hitler, merebut kekuasaan dengan menapak jalan demokrasi, tetapi menggunakan kekuasaan secara otoriter?

Di tengah-tengah situasi di luar republik yang tidak pernah berhenti bergejolak, pendapat Machiavelli berikut kiranya bisa kita jadikan pintu masuk untuk menghayati politik yang sedang berkembang. Pendapat Machiavelli dalam Sang Penguasa, soal perlu tidaknya benteng bagi si-Pangeran, Sang Penguasa. Di tulis Machiavelli: “[R]aja yang merasa lebih takut terhadap rakyat sendiri daripada serangan bangsa asing, sebaiknya membangun benteng. Tetapi raja yang merasa takut terhadap serangan musuh asing daripada terhadap rakyatnya sendiri tidak usah memusingkan soal benteng.[4] Dilanjutkan oleh Machiavelli: “[B]enteng yang terbaik yang perlu dibangun ialah menghindari jangan sampai dibenci rakyat.”[5] Bahasan soal klientisme yang tidak pernah surut lebih menguatkan mengapa kutipan Machiavelli di atas memang layak sebagai pintu masuk.

Dan bisa kemudian dikatakan bahwa politik yang berkembang bertahun terakhir ini adalah ‘raja yang lebih takut terhadap rakyat sendiri daripada serangan bangsa asing’. Tentu dalam konteks sekarang bukanlah benteng sebagai bangunan dari batu-batu besar yang kokoh tak tertembus, tetapi kita bisa pakai salah satu indikasi saja, adanya istilah buzzer-buzzer istana, misalnya. Yang bahkan tidak hanya sekali saja di terima di istana negara. Bermacam bentuk ‘bentrok-horisontal’ dalam banyak hal bisa juga disebut sebagai salah satu benteng itu. Belum operasionalisasi hukum yang sering nampak telanjang tajam hanya pada satu pihak saja. Macam-macam bentuk yang kalau ditelisik lebih jauh sebenarnya muaranya adalah ‘raja yang lebih takut terhadap rakyat sendiri’.

Kalau mengikuti Machiavelli, maka bukan hanya ‘raja yang lebih takut terhadap rakyat sendiri’ tetapi juga sekaligus bermakna juga ‘lebih takut terhadap rakyat sendiri daripada serangan bangsa asing’. Dan ini akan berarti banyak, terlebih seperti disebut di atas, bahasan soal klientisme di republik yang seakan tidak pernah redup. Jika kita berangkat dari kata ‘takut’ maka itu bisa juga kita maknai dengan adanya bau ‘kematian’ di depan hidung. ‘Serangan bangsa asing’ bau kematian akan dirasakan juga oleh rakyat, dan tidak hanya oleh raja. Sedang takut terhadap rakyat sendiri, bau kematian akan lebih dirasakan oleh sang raja dan lingkaran dekatnya. Atau lingkaran yang selalu diuntungkan oleh adanya sang-raja. Ketika dihadapkan pada kematian, maka sebenarnya disitulah otentisitas yang terbangun melalui rute keputusan-keputusan akan semakin nampak. Dan ketika rakyat juga merasa ikut dihadapkan pada kematian maka ia-pun akan lebih mampu untuk ikut menghayati berbangsa dan bernegara secara lebih otentik, yaitu merasa ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Baik dalam bentuk usulan, kritik, atau lainnya. Maka si-raja-pun akan menjadi tidak mudah untuk berpikir membangun ‘benteng’-nya yang bentuknya bisa bermacam itu. Raja dan rakyat menjadi bersama-sama menghadapi kematian.

Tetapi menjadi lain cerita jika raja ‘lebih takut terhadap rakyat sendiri daripada serangan bangsa asing’ karena justru ia menjadi klien dari sang-patron yang ada diluar itu. Maka di’obok-obok’lah rakyatnya sendiri. Dan kalau perlu diciptakan hantu-hantu yang akan menyerang. Bermacam hantu.

Seperti sudah disebut di atas, pandangan Machiavelli dimana raja akan membangun benteng karena ‘lebih takut terhadap rakyat sendiri daripada serangan bangsa asing’ dapat sebagai pintu masuk dalam menghayati realitas politik, apa yang akan kita lihat setelah masuk pintu itu? Selain berserakannya bermacam hantu, mungkin kita akan temui ‘radikal’-nya orang-orang yang sedang menumpuk harta, terutama menumpuk harta dengan laku curang. Machiavelli yang menua[6] itu ternyata rentan oleh berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit, tetapi juga ternyata rentan akan penculikan, perampokan. Penyakit dan penculikan-perampokan yang semestinya bisa dicegah oleh bangunan politik yang otentik. *** (22-08-2019)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/265-9-Tahun-Pembelajaran/

[2] Machiavelli menumpuk harta, istilah ini diambil dari: Herry Priyono, Menggeledah Naluri, Perihal Ekonomi sebagai Kecelakaan Filsafat Politik, 2009

[3] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit PT Gramedia, 1987, hlm. 66

[4] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. 90

[5] Ibid

[6] lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/362-Machiavelli-Yang-Menua/

9 Tahun Pembelajaran (2)

gallery/pinokio