www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-09-2019

Mengapa istilah pemilu sebagai ‘pesta demokrasi’ sering dengan mudah kita terima? Kita bisa dengan mudah menghayatinya? Mungkinkah saat itu kita lebih sebagai ‘homo ludens’? Manusia bermain, manusia –si-pemain dalam permainan? Permainan seperti ketika anak-anak kita bermain, penuh dengan kesenangan dan kegembiraan? Dan namanya pesta selalu terkait dengan kegembiraan. Ada yang bermain sebagai calon, dan mereka-mereka saling bersaing untuk saling mengalahkan dengan janji-janjinya. Permainan yang menghaluskan cara merebut kemenangan (kekuasaan), jauh dari saling bunuh dalam duel atau perang. Layaknya permainan sepakbola, para calon juga membentuk tim yang menyiapkan ini-itu, dan ketika perhitungan suara-pun badan akan panas dingin menunggu menang-kalahnya. Setelah ada menang-kalah, yang menangpun akan bersukaria seperti ketika Chelsea merebut piala Champion-nya bersama Drogba dan kawan-kawannya itu. Maka tak berlebihan pula jika Huizinga (1930-an) menyebut bahwa bermain itu sangat erat dengan formasi sebuah budaya, bahkan peradaban. Di banyak aspek kehidupan kita dapat ditemui bermacam unsur atau elemen dari bermain ini.

Jika permasalahan di republik adalah sebuah puzzle maka Pancasila adalah gambar besar yang ada di sebalik puzzle-puzzle itu. Artinya, ketika penyelenggara negara dipercaya melalui pemilihan untuk menyelesaikan bermacam puzzle itu, back-mind mereka adalah Pancasila yang sebagai dasar penyelenggaraan negara. Dan warga yang memilihnya akan bermain sebagai pengawas ketika puzzle-puzzle itu dimainkan dan juga ketika dirasa-rasa gambar yang muncul kok semakin menjauh dari gambar besar yang disepakati: Pancasila. Coba kita diminta membuat atau menyusun satu sebaran puzzle yang di kotak luarnya sama sekali tidak ada gambar akhirnya, maka kita akan menemui kesulitan besar dalam menyusunnya. Jika kemudian Pancasila lebih ‘dimainkan’ sebagai alat-pukul bagi lawan politiknya, maka sebenarnya permainan sudah bergeser, dan bisa-bisa sudah tidak menyenangkan lagi, sudah tidak mengasyikkan lagi.

Atau lihatlah soal mobil Esemka yang baru-baru ini di-launching Presiden itu. Soal Esemka ini kita seperti sedang bermain ‘Lego’ saja. Dalam imajinasi kita, kita sedang terbawa dalam permainan ‘bongkar-pasang-otak-atik-gathuk’ yang mengasyikkan itu. Betapa sulitnya otak-atik mesin, bodi mobil, interior, uji-coba keselamatan, aspek metalurgi blok mesinnya, sistem kelistrikannya, pemasaran, suku-cadang, dan masih banyak lagi. Sebuah permainan ‘Lego’ tingkat tinggi, dengan kerumitan tinggi, karena yang dibuat adalah mobil dimana tidak banyak bangsa di planet ini yang mampu membuatnya. Kita terbawa keasyikan dalam permainan itu dan jika kita berhasil membangunnya? Kemenangan dan martabat sebagai sebuah bangsa-pun akan diraih, dan kita bisa bersuka-ria akan hal itu. juga gembira karena mobil murah akan ada di depan mata. Tetapi bagaimana jika ‘keasyikan’ otak-atik yang sudah dibangun dan terbangun dalam pikiran khalayak itu, dan khalayak sudah ikut hanyut dalam permainan itu tiba-tiba saja mak-plung hadir hasil akhir yang sudah jadi itu? Tanpa khalayak tahu keringat dalam membangun interior, eksterior, mesin, uji-coba tabrakannya, dan banyak lagi. Tentu ini berbeda dengan misalnya bisnis karoseri X yang mana khalayak memang sejak awal tidak diikutkan dalam permainan. Esemka ini sejak awal ‘permainan’nya, khalayak bahkan sungguh intens diajak untuk ikut bermain. Jadi yang dirasakan kemudian adalah, kok jadinya (lagi) mempermainkan permainan –meminjam puisi Driyarkara.

Dan peringatan dalam puisi Driyarkara itu: barang siapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan permainan. Permainan yang sedang dimainkan oleh yang sekarang sedang ‘perang-dagang’ itu beserta antek-antek-nya. Bangsat. *** (08-09-2019)

Bangsa Yang Dipermainkan

gallery/pinokio