www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-09-2019

Ketika menghadapi perang, komandan akan mengumpulkan staf-stafnya, dan akan bertanya. Pada bagian logistik, berapa ransum yang tersedia, termasuk amunisi. Alat perang siap pakai dan yang rusak. Pada staf lain ia akan bertanya, berapa kekuatan musuh, dan terdiri dari apa saja. Sebaran posisi tentara, dan bermacam lagi. Intinya ia akan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi, dan bersama dengan intuisi yang terbangun lama selama karir di medan perang, ia akan membuat keputusan akhir, bagaimana harus menjalani perang tersebut. Termasuk juga ketika ia terpaksa harus memindahkan markas komandonya, jika komandan itu justru hanya mendengarkan orang-orang di luar staf-nya, misal hanya mendengar pertimbangan dari para pedagang, pastilah ia akan kalah perang. Hancur. Bisa-bisa justru pertimbangan pedagang itu adalah kehancuran itu sendiri, karena dengan itu ia justru akan meraup untung besar. Untung besar yang berasal dari musuh.

Inti dari ilustrasi di atas adalah masalah data, dan bagaimana data ikut terlibat dalam pembuatan keputusan. Penyelenggara negara akan melibatkan paling tidak dua unsur, unsur dari yang terpilih dalam pemilihan umum dan yang tidak, katakanlah jajaran birokrasi. Dari sudut pandang data, data yang sahih pertama-tama adalah merupakan tanggung jawab dari jajaran birokrasi. Dan dengan adanya bermacam data tersebut, unsur penyelenggara negara dari rute pemilihan akan menggunakannya sebagai salah satu masukan utama dalam membuat kebijakan atau keputusan politiknya. Sebagian besar untuk kebijakan atau keputusan politik yang diperjanjikannya selama masa kampanye.

Kata tidak hanya sebuah kata yang terbang melayang menunggu kita unduh untuk dipergunakan. Cobalah kita bayangkan kata dalam bahasa Jawa ini, ngikik, ngèkèk, ngakak, atau cekikikan. cekèkèkan, dan cekakakan. Bagi yang dibesarkan dengan bahasa itu pastilah tidak hanya tahu makna dan perbedaannya, tetapi bisa menghayati dan tanpa berpikir panjang bisa paham kapan harus dipakainya. Dipakai secara pas. Atau lihat kegundahan Eep Saefulloh Fatah soal kata yang bisa menggambarkan ‘seseorang atau sekelompok orang yang punya keyakinan teguh akan kebenaran yang ia atau mereka perjuangkan serta pandai menjaganya lantaran menolak menjadi pecundang’, dan Eep mengusulkan sebuah kata untuk itu: ‘rendra’.[1] Kata ‘data’ menurut KBBI berarti (1) keterangan yang benar dan nyata, (2) keterangan atau bahan yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan).[2] Dari asal katanya, data adalah bentuk plural dari datum (Latin), yang berarti fakta, a single piece of information,[3]the fact is a datum worth taking into account’, misalnya.[4] Pada awal-awalnya duluuu sekali, data erat terkait dengan ‘a fact given as the basis for calculation in mathematical problems’. Dan pada tahun-tahun sekitar Politik Etis digelar di nusantara, data memperoleh tambahan penghayatan sebagai ‘numerical facts collected for future reference’. Maka ‘ngikik-ngèkèk-ngakak’-nya data itu adalah erat terkait dengan soal katakanlah presisi. Atau dalam bahasa lain: jujur. Dan saat menggunakan kata ‘data’ itu maka sebaiknya juga dalam bayangan kita harus ada soal presisi itu, ada dorongan kuat untuk jujur menyampaikan apa adanya. Dan jika tidak ada itu semua maka ada baiknya membuat kata baru yang bisa mewakilinya, jangan pakai kata data, pakailah misalnya kata kibul atau lainnya. Atau buat kata baru seperti ‘si-jaé’ atau ‘jékawé’ misalnya, seperti ketika Eep mengusulkan kata ‘rendra’ itu.

Apa yang terjadi soal data terkait dengan tunjangan profesi guru misalnya, jika soal presisitas-kejujuran ditinggalkan? Bisa-bisa terjadi penggelembungan gila-gilaan jumlah rupiahnya yang kemudian itu segera ‘dikomunikasikan’ pada ‘sang-terpilih’ dari jalur rute pemilihan itu, dan ujungnya untuk sama-sama-tahu-lah. Atau misalnya, data pensiunan yang telah meninggal tetapi transferan terus keluar? Atau data penduduk miskin yang pada menjelang pemilihan tiba-tiba saja menjadi x-sekian, tetapi ketika tiba saat bantuan dikeluarkan terjadi peningkatan menjadi x+sekian. Atau karena sudah ngebet untuk impor beras maka data stok tiba-tiba saja menjadi ‘mengkhawatirkan’.

Atau ketika ngebet pindah ibukota, celakalah kita ketika data-data ranah jual-beli-lah ternyata yang dominan muncul. Bagaimana dengan data dari sudut lain? Termasuk juga data soal pendapat khalayak? Jika kita sepakat bahwa abad 21 ini adalah abad ketika pengetahuan yang memimpin, rasa-merasa soal data ini sungguh sangat penting untuk dibenahi. Dan pembenahan, seperti halnya reformasi birokrasi salah satu syaratnya adalah tekad kuat dari pemimpin, demikian juga soal bagaimana menghadapi carut-marutnya data ini. Soal anggaran negara tidak akan lepas dari sahih-nya data, kesesuaian antar data satu dengan yang lainnya, sehingga potensi kebocoran anggaran akan membesar jika data yang ada cenderung carut marut. Maka jelas pemimpin yang keranjingan teriak-teriak bocar-bocor dalam konteks olok-olok soal kebocoran anggaran itu pastilah tidak akan bisa diharapkan. Lihatlah jejak digitalnya, lihat wajahnya saat teriak bocar-bocor itu, dan jujurlah dijawab, orang macam itu bisa diharapkan soal perbaikan data dalam penyelenggaraan negara? *** (08-09-2019)

 

[1] https://rubrikbahasa.wordpress.com/

2009/09/28/rendra-merendra-munir-memunir/#more-65

[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Gramedia,, 2008, hlm. 296-297

[3] https://dictionary.cambridge.org/

dictionary/english/datum

[4] https://www.lexico.com/en/

definition/datum

Data dan Penyelenggaraan Negara

gallery/pinokio