www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-09-2019

Komitmen adalah kata serapan dari bahasa asing (Inggris) yang menurut J.S. Badudu berarti ‘perjanjian untuk melaksanakan suatu kontrak’.[1] Dalam pemakaian sehari-hari nampak kata ini sering digunakan dalam konteks ‘privat’ maupun ‘publik’. Ketika seorang mahasiswa membangun komitmen pada dirinya sendiri untuk selesai kuliah pada waktunya, itu adalah masalah privat, komitmen pribadi, perjanjian yang dibuat dengan diri sendiri untuk melaksanakan sebuah kontrak: selesai kuliah pada waktunya. Para motivator yang tidak murah itu sebagian besar berkutat pada komitmen wilayah privat ini, supaya menjadi yang paling fit, yang paling ‘komit’ ketika terjun di ranah survival of the fittest. Jika ia gagal melaksanakan komitmennya, maka dampak adalah pada diri sendiri. Mungkin juga akan berdampak pada tempat ia bekerja, tetapi akhirnya juga pada dirinya, misal dimutasi, gagal promosi, atau bahkan diberhentikan.

Komitmen di ranah publik di suatu tempat yang banjir sinetron melodrama kelas medioker sering ‘direcoki’ drama-drama yang maunya mengaduk emosi khalayak, dan itu bisa ditempuh dengan jalan gampang dengan menghayati masalah komitmen (publik) lebih sebagai urusan privat. Coba bayangkan pada satu saat pemimpin publik di depan publik bicara soal otoritarianisme disangkut-pautkan dengan wajahnya. Bercanda? Tidaklah, saat itu ia serius. Padahal merunut apa yang pernah dialami publik soal otoritarianisme ini adalah soal yang sungguh serius, bahkan mendasar. Atau yang terakhir, ketika publik sungguh sedang dalam situasi keprihatinan besar soal kebakaran hutan dan lahan itu, seorang pemimpin publik justru mengunggah vlog kehidupan privatnya yang sedang menggembirakan itu.

Tentu dalam kehidupan publik, sorotan mata publik pada pemimpin-publiknya akan selalu juga menerobos kehidupan privatnya meski batas-batasnya bisa berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Ada yang melihat hubungan antara laki-perempuan misalnya, murni masalah privat yang tidak perlu disorot dengan ‘mata kepublikan’. Tetapi di komunitas lain, ini adalah masalah penting. Yang mesti diingat di sini, meski publik akan menerobos kehidupan privat seorang pemimpin, tetapi pemimpin publik yang mak-nyus bukan kelas KW, ia tidak akan mengeksploitasi ke-privat-annya itu untuk kepentingan publik. Soal komitmen bagi pemimpin publik adalah ‘komitmen publik’, yaitu komitmen yang didukung oleh bermacam kuasa dan sumberdaya yang ada dalam tangannya. Bukan saja berdasar atas kuasa dan sumberdaya yang ada dalam tubuh-dirinya saja. Yang mana dampak dari gagal/berhasilnya komitmen publik itu tidak hanya berdampak pada dirinya, tetapi juga dan terutama pada publik. Maka ketika ia mempunyai komitmen untuk tidak menyebarkan hoax misalnya, ia mempunyai kuasa dan sumberdaya untuk menangkal dan bahkan menghukum pembuat hoax, yang bahkan itu jika berasal dari lingkarannya sendiri. Atau ketika ia mempunyai komitmen memperpendek proses birokrasi perijinan misalnya, ia punya kuasa dan sumberdayanya. Kegagalan bukanlah kegagalan bawahannya, tetapi kegagalan dia sebagai pemimpin dalam melaksanakan ‘komitmen publik’-nya.

Termasuk juga komitmen pada pemberantasan KKN misalnya. Adanya KPK tidaklah menghilangkan atau melimpahnya komitmen itu. Ia punya kuasa, sumberdaya, atau katakanlah ia juga punya kuasa dalam memilih siapa-siapa yang duduk di pimpinan KPK itu. Kegagalan dan keberhasilan dalam pemberantasan KKN itu adalah pertama masalah kegagalan atau keberhasilan melaksanakan komitmen yang dibuatnya di muka publik, paling tidak saat kampanye dulu. Termasuk juga untuk melindungi para demonstran dari perlakuan brutal dari oknum aparat.

 

 

 

 

 

Bagaimana jika pemimpin publik itu terlalu merasa nyaman dan bahagia di ruang privatnya? Bahkan di tengah-tengah bencana-pun ia merasa perlu untuk ada ‘ruang privat’ yang ‘steril’ dari yang lainnya untuk shooting kamera dan ambil sudut pengambilan foto? Dan banyak lagi contoh. Itulah saat ketika kata komit terhadap sesuatu, komitmen terhadap sesuatu jatuhnya hanyalah sebuah komat-kamit, sibuk di bibir yang sifatnya kumat-kumatan. Karena merasa diri layaknya seorang raja yang tidak perlu mempertanggungjawabkan komat-kamit-nya pada publik. Negara adalah saya, negara adalah bagian dari ‘urusan privat’ saya. Dan saya tidak pernah salah, karena yang salah selalu adalah masa lalu, bawahan, dan sesuatu lain di luar dirinya. *** (27-09-2019)

 

[1] J.S. Badudu, Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2003, hlm. 186

Komat-kamit Komit Kumat

gallery/jokowi pekok
gallery/jokowi pencitraan