www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-09-2019

Dahlan Iskan menulis hal menarik di DI’s Way, 29 September 2019 kemarin. Dahlan yang sedang beredar di daratan Inggris itu menulis soal Boris Johnson, PM Inggris saat ini dan mulut kotornya. Dan mulut kotor itu terkait oleh Joanna Cox. Ditulis Dahlan, Joanna Cox adalah wanita cantik anggota DPR, 41 tahun dari Partai Buruh (oposisi) dan anti-Brexit. Ia dipukuli dan ditembak sampai mati oleh ekstrem kanan pro-Brexit saat melakukan ‘temu-dengan-konstituen’. Dengan latar belakang seperti inilah, mulut kotor Boris Johnson membuat kegemparan. Dalam upaya meng-golkan Brexit di parlemen, Boris Johnson sempat keluar kata-kata kotornya, seperti ditulis Dahlan: “Brexit adalah jalan terbaik untuk menghormati terbunuhnya Joan Cox.”[1]

Bahkan tidak ada kata misuh di situ, atau kata-kata mengumpat, tetapi mengapa dihayati sampai begitu kotornya sehingga mengakibatkan ‘kegemparan’ itu? Selain karena memutar-balikkan logika dan fakta secara ugal-ugalan, nampaknya ini lebih soal empati, atau jaman Adam Smith dulu disebut simpati.[2] Ketika kata-kata itu nampak begitu miskinnya terhadap empati, tiba-tiba saja mungkin tidak hanya kotor saja, tetapi bayang-bayang anarki tiba-tiba saja ada di depan mata. Maka seperti ditulis Dahlan, kegemparan-pun tak terhindarkan lagi. Karena ketika anarki menelusup diam-diam maka kekerasan-lah yang akan kemudian muncul, dan peradaban-pun bisa-bisa akan meloncat mundur.

Beberapa waktu lalu kita bisa melihat beberapa ‘perbandingan’ kata-kata menohok yang keluar dari mulut pajabat kita dan pejabat Malaysia era sebelum Mahathir.[3] Yang kalau itu kita lihat lebih jauh lagi ada persamaannya, yaitu ada yang melihat sama-sama punya nuansa ‘pro-Beijing’-nya. Meski kita tidak bisa serta merta menyimpulkan bahwa ‘gaya’ pejabat yang ringan mengeluarkan kata-kata menohok yang miskin empati itu sebagai ‘ajaran’ dari Beijing, bermacam-macam kemiripan itu tentu menjadi catatan-catatan sendiri. Dan yang menggundahkan, salah satu pejabat yang tidak hanya sekali mengeluarkan kata menohok nan miskin empati itu sekarang punya kans besar menjadi ketua DPR!

Bahasa tidak hanya berurusan dengan mulut, tidak hanya dengan masalah oralitas, tetapi juga ‘bahasa tubuh’. Bahkan menurut Albert Mehrabian, sebesar 55%-lah porsi bahasa tubuh berperan dalam bagaimana suatu pesan diserap oleh katakanlah, audiens.[4] Efektifitas bahasa tubuh ini janganlah diragukan lagi, coba lihat bahasa tubuh masuk got itu bertahun lalu, misalnya. Tentu ada unsur bagaimana media massa memberikan tabuhnya. Maka meski tidak mengatakan kata tidak senonoh, mengacungkan jari tengah di Premier Laegue misalnya, pastilah ia akan kena sangsi. Termasuk juga gerakan rasis misalnya. Maka, soal empati-pun bisa juga terkait dengan bahasa tubuh. “Mulut kotor’ yang meluncurkan pesan oral miskin empati itu bisa juga dilakukan oleh ‘tubuh kotor’ yang membawa pesan miskin empati. Tentu ini akan terkait dengan konteks, dan karenanya tentu juga ini membutuhkan daya nalar dan daya imajinasi tertentu, misal, apakah kalau saya menggunggah vlog seperti ini sedangkan republik sedang berduka, apakah pantas? Jika itu tetap dilakukan mengunggah vlog berkonten bahasa tubuh yang miskin empati karena konteks di luar sana yang sedang begini-begitu, maka akan ada dua kemungkinan. Pertama karena daya nalar dan imajinasinya memang sungguh terbatas, alias plonga-plongo, dan yang kedua, ia memang disuruh sang dalang beraksi begitu, alias sekedar boneka. Boneka dari sang-dalang yang memang ingin anarki itu menelusup diam-diam sehingga kekerasan-lah nantinya yang akan menjadi solusi. Bangsat! *** (30-09-2019)

 

[1] https://rmol.id/read/2019/09/29

/404618/mulut-kotor

[2] https://www.pergerakankebangsaan.

com/406-Kapitalisme-Ona-Anu/

[3] https://www.pergerakankebangsaan.

com/071-Kemiripan-Itu-Kebetulan/

[4] https://www.pergerakankebangsaan.

com/157-Belajar-Dari-Mehrabian/

Pemimpin dan Mulut Kotornya

gallery/jokowi pekok