www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-09-2019

Kegilaan seperti apa yang kita hadapi ketika empati dari 29 karyawan Sarinah pada peristiwa 22 Mei 2019 lalu berujung ke penjara? Atau juga yang sedang dihadapi sekarang ini oleh Ananda Badudu terkait dengan upaya menghimpun dana untuk membantu para mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi itu? Kemanakah arah republik sebenarnya akan berkembang?

Sekembalinya Pak JK mewakili presiden dalam Sidang Umum PBB beberapa waktu lalu, kita atau paling tidak penulis baru tahu bahwa ketidak-hadiran presiden dalam Sidang Umum PBB juga berpengaruh dalam urutan bicara. Dikatakan Pak JK: “Jadi ukurannya bukan negara besar atau tidak, tapi anda (pembicara) pangkatnya apa, itu protokolernya berlaku. Seperti tadi yang bicara pertama dari Mauritius, itu negara penduduknya hanya 20 ribu sampai 30 ribu. Jadi kalau Pak Jokowi (hadir), mungkin hari pertama atau hari kedua berbicara.”[i] Meski  yang disampaikan oleh Pak JK itu adalah penting tapi kita tahu bahwa kehadiran presiden di Sidang Umum PBB itu pentingnya bukanlah sekedar masalah urutan pidato saja. Inilah salah satu kesempatan untuk menunjukkan diri bagaimana sebenarnya republik dalam pergaulan antar bangsa itu. Bagaimana kita sebagai bangsa itu mampu menghayati denyut-dinamika dalam pergaulan antar bangsa. Dan tentu juga norma-norma yang berkembang dari tahun-ke-tahun.

Contoh misalnya, meminjam bahasa Adam Smith, kita bisa juga melatih diri ketika ‘ada dalam sorotan orang-orang yang tidak kita kenal’, dan itu adalah juga melatih masalah self-command, masalah pengendalian diri.[ii] Kita melatih diri katakanlah untuk tidak ugal-ugalan karena kita hidup dalam pergaulan antar-bangsa yang mungkin saja disitu ada kesepakatan-kesepakatan tertentu yang sudah disepakati bersama. Contoh kita bisa lebih menghayati soal bermacam konvensi yang disepakati, misalnya.

Apa yang ingin disampaikan di sini adalah –sebagai contoh, soal bagaimana kita khususnya otoritas itu memandang tenaga medis dan perangkatnya ketika terjadi konflik, atau demonstrasi-demonstrasi itu. Dalam Konvensi Geneva, bahkan dalam perang-pun tenaga medis dan aparatnya itu dilindungi. Tentu kita bisa mempelajari soal konvensi itu dari internet atau buku-buku, tetapi hadirnya seorang pemimpin dalam pergaulan seperti Sidang Umum PBB itu tentu sedikit banyak akan memperkaya perspektifnya, akan memperkaya ketika dia menghayati bermacam konvensi itu, misalnya.

Pemimpin itu juga adalah ‘model’ bagi yang dipimpinnya. Salah satu mengapa yang dipimpin itu kemudian menghasrati A misalnya, itu juga karena ia ‘hanya’ meniru dari sang-model, dalam hal ini si-pemimpin yang menghasrati A itu. Ketika pergaulan semakin luas misal melalui kehadiran di Sidang Umum PBB, maka bisa saja itu akan mempengaruhi hasrat-hasratnya juga. Misal ia menjadi semakin menghayati bahwa tenaga medis dan aparatnya itu mesti dilindungi ketika ia ada di area konflik. Dan bawahannya akan mengikutinya bukan pertama-tama karena hanya sekedar melaksanakan perintah, tetapi karena ia juga meniru pimpinannya yang ia tahu mempunyai ‘hasrat’ untuk melindungi tenaga medis sesuai dengan penghayatannya soal konvensi yang berlaku secara internasional itu.

Maka ketika beberapa waktu lalu seakan tenaga medis dan aparat serta perangkatnya menjadi bulan-bulan-an untuk dipojokkan membawa batu di dalam ambulannya, kita menjadi bertanya-tanya, kok sampai sejauh itu? Kita menjadi khawatir juga, kemanakah republik akan berkembang ..... *** (30-09-2019)

 

[i] https://politik.rmol.id/read/2019

/09/29/404638/jk-harap-di-masa-mendatang-jokowi-bersedia-datang-sendiri-ke-sidang-umum-pbb.........mnb.

[ii] https://www.pergerakankebangsaan.

com/406-Kapitalisme-Ona-Anu/

Bukan Sekedar Urutan Pidato

gallery/jokowi pekok