www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-10-2019

Dalam demokrasi, hinaan terbesar kepada rakyat adalah ketika si-terpilih ingkar janji. Tidak ada yang melebihi hinaan ini, bahkan ketika rakyat balik mencerca si-terpilih karena keingkarannya. Kenapa hinaan terbesar itu adalah ingkar janji? Karena diakui atau tidak, di belakang itu jangan-jangan ada asumsi bahwa rakyat adalah bodoh. Selain itu, apa yang membuat demokrasi itu bisa tetap dijalankan selain janji dan pemenuhan janjinya? Tentu rakyat akan paham tidak semua janji pasti akan terpenuhi, tentu rakyat juga paham bahwa politik pastilah tidak akan steril dari tipu-tipu, tetapi ketika rakyat merasa bahwa batas-batas itu sudah tidak bisa diterima lagi, maka keingkaran dan tipu-tipu tiba-tiba saja akan dihayati sebagai hinaan.

Keingkaran janji yang dilakukan si-terpilih pada yang memilihnya atau rakyat pada umumnya jika itu dilakukan secara brutal dan ugal-ugalan, hanya si-terpilih miskin empati-lah yang akan melakukannya. Jejak digital yang begitu mudah diakses itu akan bisa membuat perbandingan apa yang dijanjikan dengan apa yang dilakukan. Apa yang tidak diperjanjikan justru misalnya, malah dilakukan. Atau siang omong A tetapi tiba-tiba saja malamnya aparat di bawahnya melakukan B atau yang bahkan berlawanan dengan A. Ini jelas penghinaan pada rakyat juga.

Ketika rakyat bereaksi terhadap kemiskinan empati itu dan kemudian si-terpilih mengungkapkan pada khalayak bagaimana ‘sakit’-nya dihina-hina atau dicerca, itu hanya ada di sinetron penuh melodrama. Pemimpin-pemimpin mak-nyus tidak akan melakukan itu karena itu juga secara tidak langsung menunjukkan terlalu pendeklah pikir dengan kemudian mengambil jalan gampang: mengaduk emosi. Kalau si-terpilih mau introspeksi diri mengapa dirinya banyak dicerca maka mungkin saja ia akan sampai pada satu titik dimana pada saat itu muncullah perbandingan apa yang diperjanjikan dulu dengan realisasinya, apa yang diomongkan dengan kenyataannya, dan seterusnya. Bahkan apa yang tidak diperjanjikan dulu kok tiba-tiba malah muncul. Intinya: ngaca.

Kalau rakyat kemudian merasa muak dengan pemimpin model begini, itu tidaklah salah. Muak jelas bukan makar, muak adalah muak saja. Kaum Stoa mengajarkan salah satunya untuk membedakan, apa yang tergantung pada kita dan yang tidak. Apa pendapat orang lain pada kita, apapun bentuknya, kadang itu lebih tidak tergantung pada kita. Tetapi ketika menjadi si-terpilih dengan segala sumber-daya yang ada di tangan, merealisasi janji adalah sepenuhnya tergantung pada dia. Ketika mengeluarkan omongan, bagaimana omongan itu terealisasi adalah sepenuhnya tergantung dari dia sebab bermacam sumber-daya ada di tangan. Menjaga omongan dan ‘gerak-bahasa-tubuh’ adalah juga tergantung dia, bisa diukur dan dibayangkan nantinya respon apa yang akan muncul di khalayak. Ketika republik sedang dirundung duka karena banyaknya korban akibat konflik horisontal, malah menggelar konser musik. Ketika bencana menggulung rakyat, di tempat bencana malah sibuk berjalan sendiri sambil menggulung lengan baju sebagai bagian dari shooting kamera. Dan banyaaak lagi.

Maka, sekali lagi intinya adalah introspeksi, atau lugasnya: ngaca. Soal bukan anak kolong, bukan orang kaya, tidak datang dari keluarga terpandang, itu semua tidak ada hubungannya dengan sebuah jabatan, tidak ada hubungannya dengan kebijakan-kebijakan publik yang diputuskan beserta konsekuensi-konsekuensinya. Republik tidak akan bisa merdeka dan berdaulat jika dulu para pejuang sedikit-sedikit saja sudah ‘melodrama’. *** (01-10-2019)

Rakyat Yang Terus Dihina