www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-10-2019

Enambelas tahun setelah Perang Irak dimulai di tahun 2003, Glenn Kessler menulis laporan di Washington Post edisi 22 Maret 2019 dengan judul: “The Iraq War and WMDs: An Intelligence Failure or White House Spin?[1] Kessler memulai laporannya dengan mengutip sebagian cuitan Ari Fleischer mantan administration press secretary Presiden George Bush waktu itu: “The Iraq war began sixteen years ago tomorrow. There is a myth about the war that I have been meaning to set straight for years. After no WMDs were found, the left claimed ‘Bush lied. People died.’ This accusation itself is a lie. It’s time to put it to rest.” Ari Fisher bercuit lebih dari 20 cuitan pada 19 Maret 2019.[2] Perang Irak sendiri mulai 19 Maret 2003, saat Bush jadi Presiden AS.

Twitter sendiri baru ada tiga tahun setelah Perang Irak, sedang Facebook dua tahun sebelum Twitter, atau satu tahun setelah perang Irak mulai. Google search saat Perang Irak meletus baru berusia 6 tahun. Sedang Edward Snowden meroket namanya hampir sepuluh tahun setelah Perang Irak. Saat perang Irak meletus, Snowden sedang kuliah dan berusia 20 tahun. Maka mari berandai-andai, jika di tahun 2003 itu Twitter, Facebook, dan Snowden sudah aktif, jika itu benar adalah sebuah spin apakah spin Gedung Putih soal weapons of mass destruction akan menjadi begitu mudah diterima? Memang yang juga harus diingat, 2003 itu barulah 2 tahun setelah peristiwa runtuhnya menara kembar WTC.

Alasdair MacIntyre dalam After Virtue mengatakan bahwa ‘man is essentially a storytelling animal.’ Apa yang ingin disampaikan MacIntyre tidaklah berhenti pada bagaimana storytelling itu membentuk kita, tetapi dalam storytelling itu dimana saya ada sebagai bagiannya. Dan dengan berkembangnya tekhnologi komunikasi, sejak mulai dari ditemukannya manuskrip, mesin cetak massal, radio, televisi, sampai dengan internet dan turunannya seperti media sosial sekarang ini, nampak semakin terbuka untuk kebanyakan orang untuk ‘ikut menjadi bagian’ dalam sebuah atau bermacam storytelling itu. Dan bagaimana jika intelijen salah memberikan informasi dan storytelling si-pembuat kebijakan kemudian juga ikut-ikutan ngawur? Dan ujungnya adalah keputusan yang akibatnya adalah rusak-rusakan seperti Irak pasca perangnya itu?

Entah kebetulan atau tidak, perkembangan komunikasi pada manusia akan diikuti dengan bermacam perubahan dalam tata hidupnya. Setelah lama era manuskrip bertahan, mesin cetak massal ala Guttenberg mengguncang daratan Eropa. Apakah karena mesin cetak itu juga mendorong tumbuhnya print capitalism seperti ditunjukkan oleh Ben Anderson yang kemudian mendorong perubahan di ‘bangunan atas’-nya atau sebaliknya? Faktanya ketika Bible banyak diterjemahkan di banyak bahasa lokal itu juga mendorong tumbuhnya negara-bangsa di sana. Demikian juga ketika telegram, telepon, radio, dan televisi dikembangkan. Bagaimana dengan merebaknya komunikasi mass-to-mass yang sedemikian intensif dan begitu membuka lebar ruang intersubyektifitas seperti sekarang ini?

Storytelling republik apa yang akan terbangun? Ketika sekarang ‘bangunan atas’ itu menjadi begitu dinamisnya dan seakan mempunyai kemampuan lebih untuk meloloskan diri dari ‘terkaman’ hubungan-hubungan produksi yang ada di bangunan dasar itu? Akankah gap itu akan kembali diisi dengan ‘jalan gampang’ melalui kekuatan kekerasan? *** (12-10-2019)

 

[1] https://www.washingtonpost.com/

politics/2019/03/22/iraq-war-wmds-an-intelligence-failure-or-white-house-spin/

[2] Ibid

Perang Irak Itu

gallery/pinokio2