www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-10-2019

Saya tidak ada rencana 100 hari. Karena dalam 100 hari saya adalah untuk duduk dan mendengar. Berbicara dengan pakar-pakar yang ada di depan saya dan belajar dari mereka,” ucap Nadiem dalam acara Lepas Sambut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Rabu (23/10).[1] Tentu ada yang akan diperbuat Nadiem dalam 100 hari pertamanya selain ‘duduk dan mendengar’ itu, tetapi apa yang dikatakan oleh Nadiem di atas jelas merupakan awal yang baik. Dan lebih dari itu, cara pandang seperti ini sebenarnya sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan kita. Yaitu: satu hal itu perlu hal lain sebagai yang mendasarinya.

Bagi peserta didik ‘100 hari untuk duduk dan mendengar’ itu berarti adalah 9 tahun lamanya. Sembilan tahun pendidikan dasar sebagai pondasi ketika natinya ia mulai mengarah dan mengasah pada kompetensinya, saat masuk tingkat SLTA dan sederajatnya. Dasar-dasar pondasi ketika ia -salah satu-nya, kemudian mengarah pada apa yang dikenal sebagai link and match itu. Sebaik-baiknya kompetensi adalah ketika ia didasari oleh potensi. Potensi unik yang ada di masing-masing orang. Dan juga, sebaik-baiknya kompetensi adalah ketika ia didasari oleh eros yang terbentuk. Dan bagaimana potensi dan membentuk eros inilah sebagian besar porsi dalam pendidikan dasar.

Bagi setingkat SLTA atau SMK misalnya, pelajaran matematika misalnya, adalah untuk meningkatkan kompetensi kelak jika ia masuk dunia kerja atau melanjut ke pendidikan selanjutnya. Tetapi bagi pendidikan dasar, matematika adalah lebih untuk melatih logika. Jadi salah satu kuncinya adalah, untuk pendidikan dasar jangan sekali-kali bicara soal kompetensi. Apalagi bicara soal link and match itu! Atau dalam kata-kata Menteri Pendidikan Singapura Ong Ye Kung di depan pimpinan sekolah mereka satu tahun lalu ketika salah satunya menghapus ‘ranking-rankingan’ di pendidikan dasar, “I know that ‘coming in first or second’, in class or level has traditionally been a proud recognition of a student’s achievement. But removing these indicators is for a good reason, so that the child understands from young that learning is not a competition, but a self-discipline they need to master for life.[2]

Maka wajib belajar yang 9 tahun itu, dari SD sampai SLTP harus dilihat sebagai satu kesatuan. Terlebih jika soal link and match ini mau dijadikan salah satu paradigma penting dalam pendidikan. 9 tahun awal pendidikan jangan sekali-kali dikotori oleh gendang link and match itu. Karena sama sekali tidak akan link dan tidak akan match. Awal yang bagus untuk Nadiem seperti disebut di awal tulisan, tetapi harus diingat, kadang ‘politik-pendidikan’ bisa menjadi begitu kejam. Bukan soal otak-atik siapa menterinya, tetapi ketika pendidikan lebih sebagai alat untuk melanggengkan dominasi. Yang ujungnya, meminjam kata-kata Darmaningtyas, pendidikan yang rusak-rusakan. Maka kalau boleh menyarankan usulan ‘jargon’ di luar soal link and match itu, adalah: selamatkan pendidikan dasar kita! *** (24-10-2019)

 

[1] https://www.gelora.co/2019/10/resmi-jadi-mendikbud-nadiem-makarim.html

[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/

234-Learning-is-not-a-competition/

Awal Yang Baik