www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-10-2019

Radikulisme adalah partner istimewa dari neoliberalisme yang mana dengannya kaum neolib itu bisa semakin ugal-ugalan. Radikulisme dari kata radix dan dengkul, radix berarti akar, dengkul ya dengkul: lutut. Radikulisme berarti berakar di dengkul, tidak di otak maupun di dada, tetapi sekali lagi di dengkul.

Neoliberalisme sendiri banyak bisa diartikan, salah satunya adalah kita dekati lewat out-come-nya saja. Ia ‘varian’ kapitalisme yang secara habis-habisan memihak kepada yang kaya. Habis-habisan karena seakan maunya tanpa kendali lagi. Bungkus cantiknya adalah: freedom. Bagai sebuah kompetisi sepakbola yang tidak megenal adanya Premier Laegue, Championship, League 1, maupun League 2. Semua atas nama ‘kebebasan’ itu. Lupa dalam sejarah kebesarannya ia juga lekat dengan apa yang disebut sebagai ‘infant industry’ itu.

Neoliberalisme sedikit banyak bisa kita raba dari apa yang sering ditunjukkan oleh Rizal Ramli soal ‘menteri terbalik’ itu, ya itu salah satu prototipe-nya. Tentu ini soal kebijakan-kebijakannya. Atau yang lain, bagaimana rakyat kebanyakan justru yang pertama-tama dikorbankan dengan berbagai beban yang harus dipikulnya. Sedang si-kaya: tax amnesty dan sejenisnya. Atau meminjam kata-kata David Harvey, neoliberalisme adalah sebuah proyek restorasi kekuatan kelas (kaya) yang terdampak krisis di tahun 1970-an. Juga dalam bahasan kali ini, kita juga perlu mengingat pendapat dari Pierre Bourdieu tentang neoliberalisme, yang menurutnya adalah “a programme for destroying collective structures which may impede pure market logic.”

Neoliberalisme mestinya harus di-‘verifikasi’ terkait dengan klaim-klaimnya, dan itu adalah dengan akal dan rasa cinta yang tinggi akan nasib bangsa setanah-airnya. Yang keduanya bisa digambarkan ada di kepala dan dada. Dan jelas bukan di dengkul.

Meski kaum neolib selalu nyinyir habis soal negara dengan kotbah serta menyodorkan konsep ultra-minimal-state-nya, tetapi mereka tetaplah memandang peran penting negara karena hak ekslusif negara dalam penggunaan kekerasan. Dan juga soal pembuatan aturan-aturannya. Dan refleksi peran penting negara itu adalah pertama-tama soal dukungannya terhadap agenda-agenda mereka, baik mulai dari privatisasi sampai dengan deregulasi. Komplit sesuai agenda Konsensus Washington. Dan terutama adalah untuk memuluskan apa yang disebut oleh David Harvey sebagai accumulation by dispossession itu. Jika rakyat kebanyakan melawan? Ujung akhirnya adalah kekerasan yang akan bicara. Itulah peran negara idaman kaum neolib. Dan sejarah telah mencatat bahwa itu bukanlah sekedar ngibul belaka. Bahkan jika perlu, gunakan kelompok-kelompok para-militer.

Yang jadi masalah adalah gelombang itu datang dengan kekuatan begitu besarnya. Yang 32 tahun berkuasa-pun dengan mudah tergulung. Tidak hanya di sini, tetapi juga di-sana-sini di bagian planet lain. Itulah mengapa, mungkin kita tidak bisa melawan dengan frontal tapi dengan akal semestinya kita bisa –siapa tahu, berselancar di atas gelombang. Dengan eros-elan vital yang selalu tertuju pada kecintaan akan negara-bangsanya, kita mungkin bisa bersiasat dan menjaga keseimbangan saat berselancar. Tentu kaum neolib dan juga pembonceng-pemboncengnya juga paham soal ini. Maka, idaman mereka adalah, adakah orang yang bisa dimunculkan untuk ‘menipu’ jika terjadi ‘arus balik’ dari kekuatan rakyat ini? Tugasnya memang hanya satu: menipu (rakyat), dan tidak yang lainnya. Canggih dalam pura-pura marah, pura-pura kaget, pura-pura heran, janjiin ini-itu, tipu sana - tipu sini, dan lain-lain. Intinya: radikul abis. *** (20-10-2019)

Neoliberalisme dan Radikulisme

gallery/pinokio2
gallery/godfather