www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-11-2019

Bermacam jalan orang menghayati soal nasionalisme, tetapi satu hal yang nampaknya bisa disepakati bersama, ia mengatasi hal perbedaan terutama soal suku atau golongan. Bermacam rute sehingga penghayatan yang mengatasi perbedaan bermacam suku atau golongan itu bisa mewujud tanpa harus menghilangkan apa-apa yang ada dalam masing-masing suku atau golongan. Salah satu rute adalah melalui imajinasi, kemampuan berimajinasi. Ia mampu membuat imajinasi suatu komunitas yang melampaui batas-batas suku dan golongan. Ben Anderson menunjukkan hal ini.

Banyak hal yang mendorong munculnya kemampuan berimajinasi ini, bisa karena bahasa yang sama, senasib sepenanggungan yang berlangsung lama, meningkatnya interaksi, dan lain-lain. Tetapi ada yang sungguh krusial di sini, yaitu peran pendidikan. Terkait dengan peran krusial pendidikan inilah kita bicara soal ‘lingkaran setan’ ini. Yaitu terlebih jika kita bicara soal ‘politik pendidikan’, dalam arti pendidikan yang diletakkan dalam dinamika perebutan power. Atau dalam hal ini terkait dengan adanya soal ‘pakta dominasi’. Yaitu ketika pendidikan sangat diperhitungkan dengan cermat demi langgengnya sebuah pakta dominasi. Cobalah kita bayangkan pendapat bermacam tokoh seperti misalnya, “pendidikan adalah dinamit bagi penjajahan” atau yang senada. Penjajahan adalah satu bentuk pakta dominasi. Atau cobalah kita bayangkan apa yang dialami oleh Paulo Freire ketika ia mengembangkan pendidikan kritisnya di tahun 1960-an di Brazil sana.

Dengan imajinasi yang berkembang semestinya ia mampu melampaui juga prasangka-prasangka (prejudice) yang berkembang. Amy Chua dalam Political Tribes (2019) mengutip pandangan Gordon W. Allport dalam The Nature of Prejudice menekankan pentingnya kontak face-to-face dalam mengikis bermacam prasangka ini. Waktu masih SMA di Kolese de Britto Jogja awal tahun 1980-an, kami biasa nyèk-nyèk-an, ejek-ejek-an ringan soal ras. Dan tidak ada yang tersinggung, biasa saja. Kontak face-to-face antar siswa itu nampaknya bisa menjadi lebih produktif jika tidak ada suasana menakutkan, terutama dalam hubungan vertikal, dalam hal ini antara guru-murid. Nyèk-nyèk-an saat itu tidak hanya antar siswa, tetapi juga antara guru-murid. Bahkan ketika ada murid tidak terima di-nyèk oleh guru, ia pun menantang berkelahi. Saat itu kami laki-laki semua, termasuk gurunya dan tentu romonya juga. Untung Romo Pamong mendamaikan. Intinya adalah, memang face-to-face penting untuk mengurangi prasangka-prasangka, tetapi ia akan lebih berhasil jika hubungan horisontal itu hadir dengan kejujuran dan bebas dari rasa takut.

Apa yang terjadi dalam kontak face-to-face itu? Bagi Levinas, dalam kontak dengan ‘yang lain’ itu sebenarnya menelusup juga suatu tanggung jawab etis kita terhadap ‘yang lain’ itu. Lihatlah contoh paling ekstrem ketika eksekusi hukuman mati, wajah atau minimal mata si terhukum sebagian besar akan ditutup. Atau tangis bayi yang tergeletak di satu sudut misalnya, ia menggelitik kita akan sebuah tanggung jawab dan kitapun akan mendekat. Atau lihatlah keluhan dari sebagian tokoh Papua yang hadirnya Jokowi sebagai Presiden yang berkali-kali itu ternyata jauh dari menyelesaikan masalah dasar di Papua. Lihat yang terakhir, datang ke Papua justru yang banyak dibicarakan soal infrastruktur. Jelas, kontak face-to-face itu tidak bisa dikatakan berhasil, ia ‘terhalang’ oleh ‘imajinasi’ lain. Bandingkan dengan bermacam ‘kesaksian’ terkait dengan bagaimana Gus Dur saat jadi presiden dulu melakukan kontak face-to-face dengan masyarakat Papua.

Bagi dunia pendidikan di era digital ini, harta karun sebenarnya bukanlah komputer atau jaringan internet, ia tetaplah kontak face-to-face itu. Bagi yang paham akan kekuatan face-to-face ini, apalagi ketika terjadi secara horisontal dan penuh kejujuran serta bebas dari rasa takut, ia akan segera dapat meraba kekuatan dahsyatnya. Dan bayangkan jika itu terjadi selama terus menerus di 9 tahun pendidikan dasar, atau bahkan ditambah dengan 3 tahun di tahap lanjutannya. Apalagi jika paling tidak selama 9 tahun itu ia didampingi dengan tulus untuk mengembangkan diri dalam art of thinking (logic), art of inventing and combining symbols (grammar) dan art of communication (rhetoric). Dahsyat. Masalahnya, apakah para penikmat ‘pakta dominasi’ itu mau? Inilah mengapa hal tersebut harus diperjuangkan. Jika tidak, tetap saja radikal-radikul itu yang akan ditebar terus-menerus sebagai tirai asap bagi (salah satunya) hidden agenda mereka dalam pendidikan, khususnya pendidikan dasar kita: langgengnya dominasi. *** (01-11-2019)

Lingkaran Setan Itu

gallery/pinokio2