www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

03-11-2019

Rmol mengunggah laporan menarik soal Captain Pilot Hifny Andy Assegaf,[1] pilot pertama dari Indonesia yang memperoleh sertifikat Chief Pilot CASR 141 FAA (Federal Aviation Administration) di AS sono. Diberitakan oleh Rmol, untuk mengantongi sertifikat itu seorang instruktur pilot harus menjalani tes lisan mengenai silabus dan kurikulum sekolah pilot, operasional FAA 141/61/91, prosedur keselamatan, prosedur operasi standar, advisory cilulars, operasi pendidikan latihan, dan sebagainya. Ujiannya sendiri dilaksanakan selama 13 jam. Terdiri dari 10 jam tes lisan, 2 jam tes terbang menggunakan dua pesawat berbeda, dan 1 jam debriefing oleh inspektur penerbangan FAA. Melalui bermacam penerbangan di AS, ia paling tidak telah meraih 11.000 jam terbang.

Pilot adalah salah satu profesi dari sekian profesi yang ada, dan masing-masing profesi mempunyai proses-prosesnya masing-masing sehingga seseorang dapat sampai pada puncak ketrampilan profesinya. Coba bayangkan seseorang dokter bedah otak misalnya, atau bedah jantung, atau ahli jantung dan profesi medis lainnya, jalan berliku dan tidak mudah untuk sampai ke ‘puncak’ ketrampilannya. Demikian juga seorang akuntan misalnya, atau juga pendidik, guru dan dosen. Atau petinju dan atlet lainnya. Bahkan seorang arsitek atau seniman-pun tidak akan mak-plung memperoleh ‘puncak’ -katakanlah, kreativitasnya.

Jika kita lihat apa yang terjadi di republik, bermacam profesi yang ada itu sudah banyak yang diisi oleh orang-orang yang siap dan mau serta mampu meniti proses-proses yang tidak mudah itu, di masing-masing ranah profesinya. Maka tidaklah heran, apa yang menjadi tekad Reformasi 1998 dulu itu, yaitu memberantas KKN menjadi begitu mudah merebaknya dukungan yang diperolehnya. Masalahnya, suasana yang mulai terbangun itu, atau paling tidak tekad yang terus membesar itu, rasa-rasanya semakin meredup saja ketika masalah power itu berkembang menjadi begitu mbèlgèdès-nya.

Kelicikan yang seakan tanpa batas, urik-curang yang ugal-ugalan, dan miskinnya etika serta kehormatan nampak sekali tidak hanya ikut menggerogoti ‘suasana kebatinan’ kontra KKN itu, tetapi juga semakin nampak input yang ugal-ugalan dalam rekrutmen ‘profesi’ politisi. Yang dimaksud di sini sebagai politisi adalah siapa saja yang terlibat dalam perebutan kekuasaan melalui jalan pemilihan itu.

Politisi yang dimaksud di atas sebenarnya juga menghadapi tanggung jawab yang tidak kecil sebagaimana seorang instruktur pilot seperti Captain Pilot Hifny Andy Assegaf misalnya, atau seorang dokter, akuntan, bahkan juga guru, tentara, polisi. Bahkan mungkin lebih berat karena ia juga menghadapi bermacam manusia dengan segala hasratnya, yang justru inilah hal utama yang harus ia kelola. Kita sudah merasakan bersama bagaimana ketika input politisi ini sungguh terbukti adalah kelas medioker. Lihat bagaimana hasrat-hasrat itu seakan menjadi ‘liar’ dan berjalan seakan mampu untuk menghalalkan segala cara. Jika tidak hati-hati, soal gejolak hasrat yang tidak terkendali ini akan mengambil rute purba, dan yang akan mengemuka adalah: rute kekerasan.

Setiap profesi akan selalu menjaga marwah-kemartabatan ke-profesiannya. Profesi dari asal katanya ia lekat dengan hal yang diperjanjikan. Profesi pilot akan menjanjikan keberulangan selamatnya penerbangan, demikian juga misalnya dokter bedah, ia menjanjikan keberulangannya keberhasilan pasca-operasi. Demikian juga profesi-profesi lain. Maka setiap profesi ia akan selalu ingat ‘nasehat’ Napoleon untuk tidak menyerahkan ‘puncak’ ketrampilan profesinya pada ‘small men’ demi selalu terjaganya ‘hal-hal yang diperjanjikan’ itu akan tidak saja selalu berulang, tetapi dengan out-come semakin baik. “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity,” demikian Napoleon. Tetapi mengapa semakin nampak ‘small men’ hilir mudik tidak tahu malu ngaku-ngaku sebagai politisi itu? Peringatan Sujiwo Tedjo kiranya bisa memperjelas hal ini: “Jika aku mati2an mendukung seseorang jadi pemimpin padahal aku tahu bahwa dia gak mampu jadi pemimpin, maka patut kau duga aku akan mengeruk keuntungan besar2an dari kepemimpinan dia.”[2] Tentu yang dimaksud Sudjiwo Tedjo ini adalah yang tidak termakan propaganda atau terjebak dalam fanatisme.

Maka pelajaran dari laporan Rmol di atas, janganlah main-main soal input dan tentu juga proses dalam ranah ‘profesi’ politisi ini. Tentu sebagai hak, siapa saja berhak dalam kontestasi, maka untuk itulah ada partai politik. Ia akan menyaring dan mempersiapkan dengan serius calon-calon politisinya. Tidak hanya terkait dengan ideologi atau apapun mau disebut, tetapi terlebih tanggung jawab ke depannya jika ia terpilih. Dan jika partai politik juga ikut-ikutan mbèlgèdès? Repot memang. *** (03-11-2019)

 

[1] https://dunia.rmol.id/read/2019/

11/03/408764/jadi-pilot-pertama-indonesia-di-amerika-peraih-sertifikat-chief-pilot-casr-141-faa-hifny-menyimpan-satu-cita-cita-besar

[2] https://twitter.com/sudjiwotedjo/

status/1094888794224877569

Captain Pilot Hifny Andy Assegaf

gallery/pinokio2
gallery/pilot