www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-11-2019

Kata ‘transisi’ bisa bebas dilekatkan dengan kata apa saja. Selama pasca Orde Baru, transisi lebih sering dilekatkan dengan demokrasi, dan jadilah angan-angan itu: transisi demokrasi. Angan-angan bagi rakyat kebanyakan tentunya, tetapi belum tentu merupakan imajinasi bagi kaum oligark-pemburu rente. “The profit-making motive demanded lower wages, inferior general condition of industry, a diminution of the charges imposed upon capital by taxation, a consequent contraction of the social services. But democracy has led the masses to expect the reserve of all this,”[1] demikian Harold J. Laski menulis dalam The State in Theory and Practice, 10 tahun sebelum Proklamasi. Jika pencarian titik temu ini kemudian menjadi berkepanjangan, menurut Laski bisa-bisa ini mendorong “fascism came to rescue capitalism from this dilemma”.[2] Atau dalam ‘bahasa’ di satu republik 85 tahun setelah Laski menulis itu, khalayak melakukan demonstrasi demi penguatan upaya pemberantasan korupsi, tetapi di lain pihak kaum oligark-pemburu rente tetap kukuh dengan tekadnya dalam kegilaan profit-making motive melalui jalan gelapnya. Jika tidak ada titik temu? Jangan-jangan nantinya “fascism came to rescue ‘capitalism’[3] from this dilemma”. Jadi fakta potensialnya tidak hanya soal (dongengnya) transisi demokrasi, tetapi juga (sayangnya) transisi otoritarian. Apalagi seperti diingatkan oleh Jeffrey Winters, hancurnya rejim otoriter bukan berarti juga hancurnya oligarki.

Transisi otoritarian ini hanya akan menuju dan sampai pada proses ‘stabilisasi rejim’nya jika ia didukung penuh dengan kekerasan, bukan dalam arti kiasan tapi senyatanya –riil, yang mempunyai potensi tercabutnya nyawa seseorang. Meski belum cukup, ia mutlak memerlukan kekuatan penuh dari kekerasan itu. Atau kalau memakai Gramsci, itu baru bagian dari ‘war of manoeuvre’, tentu yang ini dari pihak ‘sana’ yang sedang berangan-angan indahnya menjadi otoriter. Tetapi jelas itu belum cukup. Masih diperlukan apa yang disebut Gramsci sebagai ‘war of position’, yang hanya dimungkinkan jika ‘mereka’ didukung oleh bermacam aparatus, terutama misalnya aparatus media massa ataupun jaringan aparatus yang sampai menjangkau kecamatan-kecamatan, misalnya. Apapun itu.

All significant concepts of the modern theory of the state are secularized theological concepts,”[4] demikian Carl Schmitt berpendapat dalam Political Theology. Bagi fans berat Carl Schmitt dan yang sekaligus mempunyai naluri atau bahkan DNA otoriter, mungkin segera saja mempunyai imajinasi bagaimana jika Paus itu dihayati secara sekuler? Apalagi jika dalam ‘dunia sekuler’-nya ia merasakan tingginya power distance[5] (a la Geert Hofstede) yang ada di kultur masyarakatnya. Rasa-rasanya ‘buah terlarang’ itu menjadi (semakin) begitu menggodanya. Imajinasi tentang Paus yang setiap katanya akan dipatuhi umatnya dan juga mempunyai kemampuan menjangkau umat-umatnya sampai pada tingkat kecamatan misalnya, melalui paroki-parokinya. Yang dipimpin oleh seorang romo sebagai gembala ‘domba-domba’nya. Menjaga supaya ‘domba-domba’ itu tidak tersesat atau mencari serta mengajak kembali jika ada ‘domba’ yang melenceng dan menjadi tersesat. Dalam penghayatan sekuler, menjaga supaya ‘domba-domba’ tidak tersesat itu bisa saja dihayati sebagai menjaga supaya tidak melenceng menjadi ‘domba’ radikal misalnya. Dan semacamnya. Intinya, supaya tidak menjadi ‘domba’ yang ‘nakal’. Dalam penghayatan sekuler-nya Gramsci, mungkin itulah salah satu ujung tombak dari ‘war of position’.

The modern theory of the state’ yang dimaksud Carl Schmitt nampaknya adalah teori-teori tentang negara yang berkembang bersamaan dengan merebaknya ‘deisme’. Kalau Adam Smith mencari pengganti kristianitas Abad Pertengahan dengan ajaran-ajaran Stoa, apa yang dirasakan oleh Carl Schmitt terkait dengan ‘teori-teori modern tentang negara’ juga dirasakan gamangnya dalam mencari pengganti ke-‘theocentris’-an a la Abad Pertengahan di Eropa sono. Dari sini bisa kita sedikit banyak kita bisa mengerti mengapa Schmitt kemudian meyakini bahwa “all significant concepts of the modern theory of the state are secularized theological concepts” seperti sudah disebut di atas. Hal yang tidak hanya terkait dengan perkembangan historisnya, tetapi menurut Schmitt juga ‘sekularisasi’ terkait dengan ‘systematic structure’-nya.[6] Deisme’ yang dimaksud adalah, bayangkan seorang pembuat jam (otomatik), setelah jam itu selesai maka tanpa campur tangannya lagi jam itu akan beroperasi sendiri. ‘Deisme’ tidak menolak campur tangan Tuhan dalam penciptaan, tetapi setelah segala sesuatu tercipta, ia tidak campur tangan lagi.

“Berjaga-jagalah, sebab kedatanganNya seperti pencuri di malam hari,” demikian kira-kira bunyi Kitab Suci. Penghayatan sekuler akan mengatakan bahwa ini seperti ‘keadaan darurat’ yang terus menerus, dan dengannya Tuhan juga seakan terus-menerus menampakkan ‘kedaulatan’-nya. “Sovereign is he who decides on the exception,[7] demikian Carl Schmitt di awal Political Theology-nya. Bagi fansnya Carl Schmitt dan (sekali lagi) yang mempunyai naluri otoriter, ‘state of exception’ adalah ruang luas yang sekaligus juga ‘berkah’ untuk menunjukkan kedaulatannya. Dan itu akan lebih berhasil jika ‘state of exception’ itu betul-betul pada akhirnya akan ‘mengundang’ datangnya kedaulatan yang mempunyai karakteristik khas: sekaligus juga mengeluarkan aroma kematian. Bukan sekedar dongeng digital belaka. Dan tidak ada yang begitu beraroma kematian selain sedang ada di depan senjata. Puncak dari ‘war of manoeuvre’. Dan inilah saat ketika proses transisi otoritarian itu mengalami ‘ejakulasi’-nya. Sebelumnya adalah sekedar fore-play belaka, atau gaduh rebutan pasangan. Atau mana ‘sersan’ mana ‘kopral’nya. Mana ‘komisaris’-nya. Atau yang mana pemain utamanya, pemain pembantu, atau sekedar figuran. Atau bahkan sebenarnya cuma penonton atau juga sebatas kuda-tunggangan. Bahkan kuda-lumping, setelah selesai dikembalikan lagi  ke’barak’-nya. Terus di-ulur-ulur menunggu saatnya. Sambil perlahan disusunlah ‘kitab-suci-sekuler’-nya, yang konon di satu republik disebut dengan Pedoman P3.

‘Imajinasi sekuler’ tentang Paus ini bisa sampai pada ujung ‘kegilaannya’ yaitu ketika yang di-imajinasikan adalah Paus Abad Kegelapan. Yang mana saat itu kemudian dikenal adanya istilah ‘nepotem’ – ‘nephew’.[8] Anak biologis Paus yang jamak saat itu, dihaluskan dengan istilah nepotem dan memperoleh banyak privilege. *** (05-11-2019)

 

[1] Harold J. Laski, The State in Theory and Practice, George Allen and Unwin Ltd, 1951, 5th impression, hlm. 131

[2] Ibid

[3] https://www.pergerakankebangsaan.

com/406-Kapitalisme-Ona-Anu/

[4] Carl Schmitt, Political Theology Four Chapters on the Concept of Sovereignity, Trnsl. by George Schwab, The MIT Press, 1988, , hlm.  36

[5] Power distance index Philipina 94, Indonesia 76, New Zealand 22, Denmark 18, misalnya

[6] Carl Schmitt, Political Theology ..., hlm. 36

[7] Ibid, hlm. 5

[8] https://www.etymonline.com/

word/nepotism

Transisi Demokrasi dan Dongengnya

gallery/pinokio2