www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-11-2019

Ada pepatah lama Tuan-tuan., di kalangan pedagang di pasar Macellum bahwa ikan membusuk mulai dari kepala ke ekor dan jika ada yang busuk di Roma saat ini –dan siapa yang meragukan hal itu? –terang-terangan aku mengatakan bahwa kebusukan itu  dimulai di kepala. Kebusukan itu dimulai di puncak.  Kebusukan itu dimulai di senat,” demikian bagian penutup pidato Cicero.[1] Siapa bilang pemimpin selalu berdampak baik? Fakta potensialnya ia bisa juga justru merusak yang dipimpinnya. Apalagi yang dipimpinnya itu di sana-sini penuh dengan gejolak hasrat, dan bahkan termasuk hasrat dalam dirinya sendiri.

Dari berbagai dokumentasi dalam bermacam bentuknya terkait perubahan iklim, kita semakin paham bahwa itu bukanlah sebuah imajinasi liar. Atau lihatlah bagaimana rata-rata suhu di bumi yang terus meningkat. Tidak hanya itu, gambaran selama abad 20 terkait dengan jumlah populasi dunia-pun perlu juga kita perhatikan. Jumlah penduduk bumi sekarang ini jika dibandingkan saat Proklamasi, hampir 3 kali lipatnya! Masalahnya bukanlah lagi sebatas seperti pernah dikatakan oleh Ahmed Zaki Yamani di bagian akhir abad 20: “The stone age did not end because the the world ran out of stunes, and the oil age will not end because we run out of oil.” Ini sudah di atas stone age atau oil age, tetapi sudah soal bumi sendiri, sudah soal rumah, bukan sekedar lampu atau kompor saja.

Maka yang pertama kata kuncinya adalah efisiensi. Bukan saja terkait dengan daya saing ranah ekonomi, tetapi ini sudah masalah survival, masalah bertahan hidup, baik kita sebagai manusia yang menghuni bumi ataupun bumi itu sendiri. Dan terlebih sebagai satu komunitas yang terikat dalam satu kesepakatan hidup bersama, dalam satu bangsa dengan segala sumber daya yang dikandung di tempat ia hidup.

Yang kedua adalah seperti disampaikan Arnold J. Toynbee dalam A Study of History, khususnya soal respon dan tantangan. Terutama terkait besar-kecilnya tantangan serta peran penting minoritas kreatif. Tantangan di sini adalah juga termasuk misalnya ancaman dari kemampuan di luar yang ditopang oleh proses yang sudah sangat efisien. Maka ‘masa transisi’ perlu diambil supaya gap ke-efisiennya itu bisa semakin mengecil sehingga ketika harus dihadapi tantangan itu dalam sebuah kompetisi terbuka maka yang di dapat adalah sebuah dorongan maju. Bukan ‘kematian’.

Bagi seorang pemimpin, efisiensi itu sebenarnya dimulai dari ‘mulut’nya, kata-kata-nya. Tentu bagi sebagian besar orang, kata yang meluncur dari mulut tidaklah harus dikaitkan dengan soal efisiensi ini, bisa repot nantinya. Efisiensi dalam berkata-kata dari seorang pemimpin pertama-tama dilihat dari apa yang ia kerjakan terkait dengan kata-kata itu. Jelasnya, satunya kata dan tindakan. Efisiensi sendiri dari asal katanya pasti akan terkait dengan hal bertindak. Tidak ada hal efisien hanya berhenti hanya pada kata-kata saja. Jika terlalu banyak kata yang pada ujungnya berakhir tidak pada tindakan, ke-tidak-efisien dari keseluruhan kepemimpinannya akan segera dirasakan. Distrust yang berkembang akan menyedot banyak sumber daya untuk ‘merawat’ dan bahkan untuk ‘mendukung’ kepemimpinannya. Terlalu banyak hal terbuang sia-sia.

Meski bahasa akan mengembangkan daya pikir, tetapi tetaplah itu tidak menghilangkan salah satu hal esensial dari manusia: manusia berbahasa karena berpikir. Jadi berpikir mendahului bahasa. Maka dalam banyak hal, ketika kita mengadopsi bahasa asing dalam bahasa kita, perlu kiranya menelisik juga bagaimana ‘sejarah’ kata itu dilahirkan di sono-nya. Atau cobalah kita lihat lagi penelitian Robert Levi di akhir tahun 1960-an tentang tingginya angka bunuh diri di Tahiti yang kemudian dikaitkan dengan situasi hipo-kognisi itu. Atau bagaimana Heidegger mengakrabkan diri dengan puisi-puisi Hӧlderlin. Ketika seorang pemimpin terlalu banyak marah-marah, di sini heran di sana heran (lagi), orangpun bisa akan berpikir: apa saja kerja otaknya dibelakang kata-kata yang berulang kali meluncur itu? Berulang dan tidak ada dampak apa-apa, misal soal marah dan herannya itu? Atau lihatlah ketika seorang pemimpin mempunyai hak prerogatif yang begitu luasnya itu, dan ia ‘dengan tanpa beban’ menggunakannya layaknya seorang sinterklas saja. Atau ketika efisiensi itu sebenarnya lebih bicara proses, ia tidak hanya lebih memilih soal output, tetapi pada saat bersamaan ‘mendiskreditkan’ proses. Atau bagaimana ia akan menerjemahkan soal ‘efisiensi berkeadilan’ yang diam-diam menelusup di pasal 33 ayat 4 UUD hasil amandemen itu?

(Super) geliat yang menggetarkan dari China tidak lepas dari peran sentral pemimpinnya. Dan soal ini kita bisa belajar tentang tradisi konfusius yang berkembang di sana, yaitu sebut saja shangshangce.[2] Memilih yang terbaik dari yang terbaik. Memilih pemimpin dengan kaliber tertinggi. Yang sukanya marah dan kaget-kaget-an serta heran-heran-an itu, dan apalagi keahliannya cuma dalam hal menipu, pagi-pagi dalam tradisi itu mungkin yang seperti ini sudah dibuang ke got. Merusak saja ujung-ujungnya. *** (07-11-2019)

 

[1] Robert Harris, Imperium, Gramedia, 2008, hlm. 73

[2] http://pergerakankebangsaan.com/

018-Shangshangce/

Pemimpin Yang Merusak

gallery/pinokio2
gallery/world population
gallery/global temp