www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

Sihir 2024

 

Salah satu ‘musuh’ utama manusia adalah ketidak-pastian. Bahkan Thomas Hobbes secara tidak langsung melihat pentingnya soal ketidak-pastian ini, yaitu ketika ia meyakini bahwa orang akan terus mengakumulasi kekuasaan untuk memastikan apa yang diperolehnya sekarang ini tetap ‘aman sentosa’. Tentu yang terutama adalah sekarang ini, tetapi juga yang tak kalah penting adalah masalah keberlangsungannya. Dengan bahasa jadoel, dalam Leviathan Hobbes menulis: “So that in the first place, I put for general inclination of all mankind a perpetual and restless desire of power after power, that ceaseth only in death. And the cause of this is not always that a man hopes for more intensive delight than he has already attained to, or that he cannot be content with a moderate power, but because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without the acquistition of more,” demikian Hobbes.[1] Atau bagaimana para peramal kadang menjadi begitu akrabnya dalam kehidupan kita. Atau buku-buku para futurolog yang laris manis. Atau bagaimana sisi gelap dari sebuah utopia: eskapisme. Juga bagaimana kita bisa bicara begitu semangatnya dalam dunia prediksi Chelsea melawan MU, yang akhirnya satu minggu kemudian kita bisa lihat bersama bagaimana Chelsea menggebuk MU.

 

Intinya adalah bagaimana ketidak-pastian, terlebih ketidak-pastian masa depan itu akan selalu mengiringi langkah kehidupan. Bermacam respon terhadap ketidak-pastian ini. Dari agamawan, kaum ideolog, futurolog, sineas, penulis novel, ‘nabi-nabi’ palsu seperti Jim Jones bertahun lalu, terlibat dalam merengkuh dan berusaha membuat sketsa ketidak-pastian masa depan itu dengan bermacam temuan peta jalan yang harus dilalui. Tidak ketinggalan pula kaum mbèlgèdès itu. Bicara soal wong cilik nantinya akan bla-bla-bla, atau restorasi republik akan dijalankan dengan jalan bla-bla-bla, atau petani yang akan dimuliakan sehingga impor akan bla-bla-bla, dan banyaaaak lagi. Hal yang sebenarnya semakin mengusik kenyamanan kita, masa depan terlalu banyak dipermainkan dengan di sini ngibul, di sana ngibul. Dimana-mana sukanya ngibul. Dan senyatanya yang terjadi adalah la-la-la-la-la.

 

Axis mundi adalah, katakanlah, ‘teknologi’ kuno yang dikonstruksikan untuk tujuan ‘menjinakkan’ chaos menjadi serasa kosmos. Kata demokrasi-pun perlahan seakan bisa terhayati sebagai semacam axis mundi. Dengan kata itu seakan kita menjadi lebih beradab karena dalam perebutan kekuasaan tidak harus lagi saling bunuh. Tetapi kadang demokrasi justru menjadi sebuah ‘penjara’. Karena jika demokrasi itu adalah juga sebuah perebutan hegemonia, ketika pemenang kemudian memegang hegemonia itu, godaan untuk menghayatinya sebagai arche menjadi begitu menggodanya.[2] Apalagi jika dalam proses merebut hegemonia itu penuh dengan manipulasi dan kecurangan. Atau rute lain dalam pertanyaan Machiavelli: anda sedang berusaha menjadi raja atau sedang menjadi raja? Intinya: soal merebut kekuasaan itu bisa sangat berbeda dengan menggunakan kekuasaan.

 

Itulah yang dimaksud dalam judul: sihir 2024. Seakan axis mundi hidup bersama itu soal perebutan kekuasaan saja. Dan itu no. 1. Tentang bagaimana menggunakan kekuasaan itu selama 5 tahun, jika anda tidak setuju, kembalilah ke no. 1 itu –lima tahun lagi. Karena kita adalah negara demokrasi. Lalu bagaimana jika pada saatnya kita kembali lagi ke no. 1, (sayangnya) kembali lagi kita akan dihadapkan pada manipulasi dan kecurangan yang membuat seakan mereka nggak ada matinya itu? Tentu akan ada khotbah soal check and balances dan yang sejenisnya selama 5 tahun berjalan. Khotbah yang berbusa-busa itu, masalahnya kadang hanya menyisakan pada kita kesempatan untuk gerundelan saja, versi Cuk Gombloh: bangsat! Versi Mangunwijaya: Gerundelan Orang Republik (Pustaka Pelajar, 1995). Karena hegemonia telah berubah menjadi arche.[3]*** (11-11-2019)

 

[1] Thomas Hobbes, Leviathan, Andrew Crooker, 1651, hlm. 61

[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

[3] Ibid