www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-11-2019

Bagi Platon, materi soal dialektika baru akan diajarkan setelah bermacam hal dikuasai oleh murid. Bahkan bisa itu baru diajarkan setelah umur 30 tahun.[1] Dialektika yang dimaksud adalah seni debat, dan dengan mengajarkan setelah kematangan dicapai oleh murid, Platon berharap kemampuan ber-dialektika itu akan berguna untuk menggali kebenaran. Bukan hanya berhenti untuk memenangkan argumen seperti yang sudah dipraktekkan oleh kaum Sophist di jamannya.

Arnold J. Toynbee di tengah-tengah riuh-rendah perkembangan pesat modus komunikasi man-to-mass terutama melalui televisi dan film, menulis (1953) soal psikologi perjumpaan kebudayaan-kebudayaan.[2] Menurut Toynbee ada gambaran umum dalam perjumpaan kebudayaan-kebudayaan itu. Gambaran umum itu adalah semakin tinggi nilai kebudayaan itu maka semakin tinggi pula resistensi atau hambatan penetrasinya. Sebaliknya, semakin rendah nilai budaya maka ia semakin mudah masuk karena resistensinya juga rendah.

Dalam konteks republik dengan power distance (a la Geert Hofstede) tinggi, peran seorang pemimpin sangatlah penting. Power distance tinggi menunjukkan bahwa yang dipimpin akan cenderung banyak manut-nya terhadap pimpinan. Sedang komunitas dengan power distance yang rendah akan mudah terusik pada tidak meratanya otoritas, ia cenderung bisa kritis atau rèsèh terhadap otoritas lebih tinggi yang ada di depannya. Maka bagi suatu komunitas dengan power distance tinggi, jika ia dipimpin oleh pimpinan yang mak-nyus, itu adalah berkah. Tetapi jika ia dipimpin oleh pimpinan yang cenderung seperti boneka plonga-plongo misalnya, itu bisa-bisa adalah awal dari bencana. Apalagi jika dalangnya punya naluri otoriter yang sudah begitu mendarah daging.

Jika kita menambahkan soal segitiga-hasratnya Rene Girard maka akan semakin nampak peran penting pemimpin dalam komunitas dengan power distance tinggi itu. Pemimpin sebagai ‘model’ bagi yang dipimpinnya, dan ketika ‘model’ itu menghasrati A misalnya, maka kebanyakan dari yang dipimpinnya akan lebih mudah untuk mengambil rute meniru ‘model’ tersebut. Tak jauh-jauh amat dari logika praktisi periklanan sebenarnya. Atau juga soal minoritas kreatif menurut Toynbee, dimana ia akan ditiru khalayak ketika tiba saatnya merespons dalam menghadapi tantangan.

Sebagai contoh misalnya, jika kita ingin membangun sebuah komunitas yang mempunyai sifat mentalitas (1) tidak meremehkan mutu, (2) tidak suka menerabas, (3) percaya pada diri sendiri, (4) berdisiplin tinggi, dan (5) mempunyai tanggung jawab yang kokoh[3], maka peran pemimpin adalah sentral. Hal-hal tersebut disinggung oleh Koentjaraningrat sekitar 45 tahun lalu. Pemimpin yang akan berfungsi sebagai katalisator berkembangnya hal-hal yang bernilai tinggi itu. Soal nepotisme misalnya, itu adalah erat terkait dengan meritokrasi. Bagaimana soal kemampuan, soal prestasi itu ditempatkan jauh di atas hubungan darah atau pertemanan, misalnya. Tetapi jika keinginan untuk membangun budaya meritokrasi justru diganggu oleh perilaku pimpinan yang bahkan tiada sungkan lagi menampilkan bagaimana hubungan darah dan pertemanan itu menggasak soal meritokrasi, maka jangan berharap soal nepotisme ini akan minggir untuk digantikan budaya meritokrasi. Atau budaya yang tidak suka menerabas, misalnya.

Tentu hal di atas tidak akan lepas dari dinamika pakta dominasi. Dan jika apa yang disinyalir Koentjaraningrat itu sampai sekarang-pun masih kita rasakan denyut kencang nadinya, kita curiga ada yang konstan dalam pakta dominasi itu. Yang justru mereka akan senang jika yang (1) suka meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tidak percaya diri, (4) tidak berdisiplin, dan (4) tidak mempunyai tanggung jawab yang kokoh itu tetap beredar merebak. Pakta dominasi yang di tangan kaum oligark-pemburu rente akan sangat bahagia jika ada di komunitas yang seperti itu. Sogokan, iming-iming, dan bahkan dengan sedikit gertak saja sudah manut seperti kerbau dicokok hidungnya.

Seperti soal pendidikan dialektika Platon yang dipandangnya memerlukan batu pondasi yang kuat demi hasrat menggali kebenaran tetap terjaga, ia selalu ‘digoda’ oleh laku kaum Sophist. Ketika banyak guru-dosen dengan penuh dedikasi mendidik murid untuk menghargai soal meritokrasi, mereka dihadapkan hampir setiap hari berita laku mbèlgèdès dari banyak para ‘figur publik’. Dalam ‘perang-nilai’ tersebut, semakin terlihat peran sentral dari seorang pemimpin. Kecuali jika ia memang sudah menentukan pilihan, ikut yang serba mbèlgèdès itu. Atau ia sekedar boneka plonga-plongo saja. Tidak lebih dari itu. *** (25-11-2019)

 

[1]Yogendra K. Sharma, The Doctrines of the Great Western Educators. From Plato to Bertrand Russel, Kanishka Publishers, 2002,  hlm. 43

[2] Arnold J. Toynbee, Psikologi Perjumpaan Kebudayaan-Kebudayaan, dalam Y.B. Mangunwijaya, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Vol. 1, Yayasan Obor Indonesia, 1987, cet-2,  hlm. 78

[3] Lihat, Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, 1985, cet-12, hlm. 45

Daya Tembus Sinar Budaya