www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-12-2019

Apakah amok bisa kita pahami sebagai salah satu bentuk ‘latah berjamaah’? Latah mungkin bisa dikatakan sudah jarang kita temui, apalagi di perkotaan. Tetapi apakah sebagai ‘underlying disease’ yang mungkin ‘semi-dormant’ itu bisa juga akan berperan ikut mendorong suatu gejala-gejala tertentu yang muncul di ruang publik? Atau mungkin ke-latah-an itu adalah salah satu ‘archetype’ yang ngendon dalam diri kebanyakan kita?

Hilfred Geertz berdasar penelitian di awal tahun 1950-an menulis dalam Jurnal Indonesia (Cornell University) terbitan tahun 1968 tentang Latah in Java: A Theoretical Paradox. Ditulisnya gejala-gejala latah antara lain, an involuntary blurting of obscene words or phrases, compulsive imitation of the words or actions of others, and compulsive unquestioning obedience when ordered to perform actions which may be ridiculous, improper, or even dangerous. (hlm. 93-94) Amok seperti disebut di atas adalah juga dekat dengan ke-kompulsif-an.

Dalam politik, disinformasi atau juga distorsi informasi bisa saja dilakukan dengan tujuan memenangkan pertarungan politik. Masalahnya adalah bagaimana ia tahu batas, batas yang mana jika itu dilanggar, hidup bersama sebagai kancah dalam berpolitik itu justru yang sedang dipertaruhkan. Distortmania yang dimaksud disini adalah ketika bermacam distorsi itu seakan sudah mendekati kegilaannya, mania. Sudah tidak tahu batas lagi. Itulah mengapa Rutledge pada salah satu suratnya pada John Jay di tahun 1776, empat bulan setelah deklarasi kemerdekaan AS menekankan soal patriotisme dalam demokrasi. “A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must supress a little of that popular spirit,” demikian tulis Rutledge.

Ada bermacam langkah atau tools untuk membongkar bermacam distorsi,[1] tetapi dengan merebaknya modus komunikasi mass-to-mass via internet, langkah-langkah untuk membongkar bermacam distorsi atau disinformasi itu bisa menjadi lebih sederhana, atau lebih mudah. Maka mestinya yang akan ‘bermain-main’ dengan distorsi itu akan lebih hati-hati, atau lebih cerdas. Tetapi faktanya adalah, sudah tahu ranahnya sudah sedemikian berkembang seperti itu masih saja ‘tanpa sungkan-sungkan sedikitpun’ bermacam distorsi itu terus dimainkan secara telanjang, secara ndèk-ndèk-an, murahan. Dimainkan terus seakan sudah seperti gelombang distorsi yang tidak pernah putus. Inilah kegilaan itu, mania itu. Cobalah dalam satu akun twitter, ketika ia menanggapi satu hal, ia menulis bahwa ia beragama A. Di kesempatan lain, ia mengaku beragama B. Padahal bermacam cuitan dia sering bernuansa provokatif yang mengadu-domba antar agama. Di era now, sangat mudah netizen mendeteksi ini. Tetapi akun itu terus saja berkeliaran menebar hal-hal yang mbèlgèdès sifatnya. Dan banyaaak lagi contoh.

Atau bermacam unggahan yang jelas dapat dengan mudah dan cepat dibuktikan distorsinya, tetap saja diunggah dan mendapat ‘like’ atau ‘retweet’ dari pasukan horé-nya atau gerombolannya. Tidak malu-malu, tidak sungkan lagi. Latah bisa ‘kumat’ misalnya ketika pintuh dibanting keras-keras dan sungguh memang mengagetkan. Hanya berbeda dalam skalanya ketika Naomi Klein menulis soal shock doctrine. Distortmania ini semakin lama semakin bisa dirasakan sebagai yang sudah mempertaruhkan hidup bersama. Tidak percaya? Lihat misalnya ketika satu institusi mau mengadakan suatu event ilmiah, bahkan keterbelahan itu sudah tidak malu-malu lagi. Dalam bermacam bentuknya.

Inilah ketika demokrasi terlalu banyak dengan berkeliarannya kaum rascals itu. Kaum bajingan, kaum begundal, kaum elit dan gang-nya yang secara terus menerus menelikung keseharian khalayak sedemikian rupa sehingga berujung pada merangkak dan merebaknya fanatisme itu. Bangsat!

Hal yang semakin menggelisahkan terlebih ketika soal kredibilitas pemimpin dan sekitarnya ada di titik nadir. An-arkhos. *** (07-12-2019)

 

[1] Lihat, Harold V Hall, Joseph G. Pirier, Detecting Malingering and Deception. Forensic Distortion Analysis, CRC Press,  2001, 2nd ed.

Distortmania