www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-02-2020

Mitos tidaklah mesti buruk, dan kadang ikut melestarikan hutan, misalnya. Ada mitos-mitos tertentu sehingga masyarakat sekitar secara turun temurun merawat hutannya. Mitos akan diturunkan dan akan dipercaya begitu saja, taken for granted. Dan persis pada titik ini, politisi yang negarawan seperti John F. Kennedy akan melihat potensi sisi buram dari mitos, katanya di pertengahan tahun 1962 di depan komunitas Universitas Yale: “The great enemy of truth is very often not the lie--deliberate, contrived and dishonest--but the myth--persistent, persuasive and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears. We subject all facts to a prefabricated set of interpretations. We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought.

Bagi politisi yang sekaligus bajingan seperti Hitler misalnya, mitos dan mungkretnya discomfort of thought justru adalah senjata andalan. Kombinasi yang kemudian bisa berujung pada yang disebut oleh Hannah Arendt sebagai banality of evil. Mungkin yang segera nampak dari beruntunnya berita soal raja-raja-an, empire-empire-an, king-king-an akhir-akhir ini adalah upaya pengalihan isu. Tetapi jika kita lihat dari sisi lain, mungkin akan segera terlihat ada juga ‘permainan mitos’ di sini. ‘Mitos’ yang sepertinya di-dendang sebagai hal ‘terlarang’ tetapi kemudian akan seperti buku-buku yang jaman dulu dilarang atau dirazia, justru peminatnya bertambah. Diam-diam. Apalagi jika kita mau lihat sampai dengan 8-10 tahun lalu, lihat bagaimana mobil Esemka itu sudah mendekati sebuah mitos pada masanya. Dan lihat bagaimana discomfort of thougt justru semakin mungkret, atau dimungkretkan. Tidak diberi tempat yang semestinya. Atau jaman dulunya lagi, ketika gerhana matahari membuat banyak ibu-ibu dan juga bapak-bapak mengawasi ketat anak-anaknya untuk tidak keluar rumah.

Mitos sebenarnya adalah bagian dari pengetahuan kita juga, dan itu mewujud melalui rute ‘ibunya semua pembelajaran’, pengulangan. Pengulangan yang pada sampai titik tertentu akan kita ambil dengan serta merta saja, taken for granted. Sebagai bagian dari habitualisasi. Tetapi tidak hanya soal pengulangan dan keberujungan pada sikap taken for granted, biasanya mitos akan bertahan jika ada ‘pengawal-nilai’-nya yang kadang merasa perlu terlibat dalam universe-maintenance. Misal nenek-kakek, orang-tua yang selalu mengingatkan. Atau bayangkan para ‘pengawal-nilai’ seperti yang diperankan sebagai ‘pengamat’ dalam percobaan Milgram di sekitar pertengahan dekade 1960-an itu. Percobaan yang tidak lepas dari tesis Arendt soal banality of evil.

Mitos bukannya selalu tidak ada korelasinya dengan realitas. Mobil Esemka misalnya, bukannya kemudian tidak bersinggungan dengan fakta di sebuah bengkel anak-anak SMK otomotif itu sedang dididik otak-atik mobil. Tetapi coba kita cermati bagaimana itu kemudian berkembang sebagai layaknya sebuah mitos. Radikalisme misalnya lagi, bukannya itu tidak ada hubungannya dengan fakta. Bahkan di Amerika, di Perancis, dan di bermacam tempat atau komunitas, pastilah ada yang bisa dikategorikan sebagai yang radikal-radikal itu. Tapi coba kita cermati dari bermacam sudut, bagaimana sekarang itu sedang diupayakan menjadi layaknya sebuah mitos. Diluar soal pengulangan, dengan salah satunya misalnya, discomfort of thought yang maunya terus mungkret saja dengan terus berulangnya disajikan yang serba remeh-temeh. Misal, rapat di atas kereta api itu. Gombal mukiyo, cuk. *** (01-02-2020)


 

Membiakkan Mitos