www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-02-2020

Wabah ini adalah ujian besar (bagi) sistem dan kapasitas pemerintahan China dan kita harus merangkum pengalaman ini dan mengambil pelajaran darinya,” kata Xi.[1] Dan ketika China dapat ‘lulus’ dari ujian besar itu, dapat dipastikan potensi untuk menjadi negara-bangsa yang kuat akan semakin besar. Atau kalau mengikuti Toynbee, kemajuan peradaban akan ditentukan juga bagaimana respon terhadap tantangan. Dari perjalanan panjang manusia, bermacam wabah penyakit disana-sini telah ikut menorehkan sejarah kelamnya. Dan dari perjuangan melawan wabah, pada akhirnya pemahaman akan sebab-akibat, dan bagaimana pengelolaan akan semakin lengkap. Dan dari pengalaman sejarah pula kita juga semakin paham bahwa soal pengendalian wabah ini soal waktu akan memegang peranan penting. Segala sumber daya akan selalu dalam bayang-bayang waktu yang berbanding lurus dengan penyebaran wabah. Dalam respon menghadapi wabah, di luar ilmu pengetahuan, kecepatan dalam mengambil sikap bisa sangat menentukan.

Ketika buku Sampar atau bahasa aslinya La Peste terbit, semua orang segera bisa mengenali, bahwa suasana di Oran, sebuah kota kecil di negeri koloni Perancis di Aljazair yang di dalam buku dipaparkan terserang epidemi, sesungguhnya adalah gambaran kondisi Perancis sendiri yang sedang dicengkeram oleh pendudukan Nazi,[2] demikian ditulis NH Dini dalam Kata Pengantar buku Albert Camus Sampar, yang diterjemahkannya. Wabah tidak hanya untuk ‘dijinakkan’ tetapi ternyata juga bisa sebagai ‘pembawa pesan’. Bagi Xi Jinping, wabah yang sedang dihadapi itu adalah juga sebagai pembawa pesan, sebuah ujian besar yang harus dihadapi. Lalu jika wabah (corona virus) ini adalah juga sebagai ‘pembawa pesan’, pesan apa yang mungkin bisa kita ambil manfaatnya. Tentu salah satunya adalah soal check-rechek-pengembangan protokol negeri saat ada wabah berkembang. Juga tentang ‘kedaulatan’ (lihat juga: “Yang Berdaulat”[3]), kedaulatan yang merupakan syarat mutlak dalam membangun sikap dalam upaya melaksanakan amanat konstitusi yang jelas ada tertulis di Pembukaan UUD 1945, alinea 4.

Tetapi bisa juga ada pesan lain, yaitu untuk menjadi lebih peka terhadap bermacam wabah yang bisa mengantarkan hidup bersama sampai di tepi jurang kematian. Dan seperti yang sudah didengungkan sejak reformasi: wabah korupsi. Karena wabah itu seakan sudah mengurat dalam hidup bersama, maka sifat sebagai silent killer-lah yang kemudian mengemuka. Yang sampai pada titik tertentu, akan meledak dalam bentuk chaos yang bisa-bisa sudah tidak tertolong lagi. Inilah pesan lain yang perlu kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, ketika tiba-tiba saja kematian seakan menari di depan mata. Jika “suasana di Oran yang di dalam buku dipaparkan terserang epidemi, sesungguhnya adalah gambaran kondisi Perancis sendiri yang sedang dicengkeram oleh pendudukan Nazi” maka cengkeraman kaum oligarki-pemburu rente-lah yang membuat seakan republik terpapar epidemi, wabah korupsi. Inilah kegilaan si-kuda hitam[4] ketika ia menjadi pemimpin republik yang sesungguhnya. Si-kuda hitam yang digambarkan Platon dalam Alegori Kereta-Perang-nya itu sebagai yang semau-maunya sendiri dan cenderung mengarah ke bawah. Lihat dengan mata ikhlas, bagaimana kita merasakan suasana kebatinan akan situasi republik bertahun terakhir ini. Apalagi si-kuda putih juga sedang mabuk dan terserang penyakit sok-sok-an, dan sayangnya lagi, sais juga menderita penyakit kronis akibat serangan ‘virus ngibul’. Matik. *** (05-02-2020)

 

[1] https://dunia.rmol.id/read/2020/

02/05/420246/xi-jinping-virus-corona-ujian-besar-bagi-china.

[2] NH Dini, Kata Pengantar Mengenal Albert Camus, dalam Albert Camus (Terj. NH. Dini), Sampar, Buku Obor, 2006, edisi ke-2, hlm. viii

[3] https://www.pergerakankebangsaan.com

/491-Yang-Berdaulat/

[4] Kuda hitam dalam Alegori Kereta-Perangnya Platon

Xi Jinping Benar

gallery/plato wings