www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

10-02-2020

Bermacam kepentingan mengapa ruang steril dibuat. Dari kepentingan medis, penelitian, bahkan ketika harus ke luar angkasa. Tetapi hidup kita hampir seluruhnya ada di ruang yang tidak steril. Dalam arti nol persen adanya kuman. Bahkan selama hidup kita justru akan hidup berdampingan dengan kuman-kuman atau jasad renik itu. Dan tubuh-pun perlahan terlatih menghadapinya. Bayangkan setelah kita lahir selalu ditempatkan pada ruang steril padahal kita baik-baik saja. Bisa-bisa nantinya setelah besar dan keluar dari ruang steril itu, kena flu ringan saja sudah bisa jatuh sakit berat. Seperti satu komunitas yang kemudian hancur ketika penyakit flu itu dibawa masuk oleh para penakluknya. Yang sebelumnya alam dimana mereka hidup tidak ada yang namanya virus influenza itu.

Kadang daya tahan terhadap penyakit tertentu kemudian ‘dibangkitkan’ dengan melatihnya. Contoh saat kita divaksin. Intinya adalah, membayangkan hidup ada di ruang steril adalah sebuah utopia, di luar yang menyandang penyakit tertentu tentunya. Membayangkan hidup bersama selalu ada di tengah dengan tidak adanya yang diujung kiri maupun ujung kanan adalah utopia. Mimpi di siang bolong, ngibul. Dan untuk itulah sebenarnya kita dikarunia otak yang kompleks, untuk berpikir. Untuk berdialog, berargumentasi. Tidak itu saja, tetapi juga tersedia pilihan: untuk berintegritas, untuk berkomitmen, atau tidak. Atau pura-pura saja.

Bagi dokter, 'modal' yang paling utama dalam menghadapi suatu penyakit adalah kondisi tubuh pasien sendiri. Tidak hanya tubuh fisik, tetapi sering juga kondisi psikisnya. Intinya, modal utama melawan penyakit adalah pertama-tama kondisi pasien secara keseluruhan. Baru kemudian bermacam tindakan lainnya, mulai dari saran kegiatan fisik tertentu, pemberian obat-obatan, sampai tindakan operatif dari yang ringan sampai berat.

Jika negara yang dibayangkan oleh founding fathers itu dikelola sesuai dengan amanat konstitusi seperti disebut di Pembukaan UUD 1945, maka ia tidak akan pernah takut, baik pada yang ada di ujung kiri maupun kanan. Bahkan yang ada di ujung kiri maupun kanan itu, selain hak yang melekat sebagai warga negara, ia juga bisa sebagai ‘sparring partners’ dalam mengelola negara. Atau juga dalam mawas diri, bahkan kapitalisme-pun memerlukan ‘gangguan’ dari yang serba ‘kiri’ itu atau yang lainnya. Atau lihatlah asal-muasal devil advocat itu. Hanya yang mendekat pada nuansa otoritarianisme-lah ia akan begitu sensitif-nya dengan ‘yang lain’.

Maka ‘yang berbeda’ atau bahkan ‘yang dessident’-pun diperlukan supaya tubuh semakin kuat dan sehat. Jika kemudian ada yang menyuarakan suatu ketidak-adilan, maka jawablah dengan upaya-upaya keras untuk menapak jalan keadilan. Bukannya memberangus orang yang bersuara itu. Jika ada yang ingin mengganti Pancasila, tampilkanlah bahwa Pancasila mampu membawa negara-bangsa Indonesia menuju kemakmuran bagi semua orang. Dan bukan hanya segelintir saja. Tunjukkan bahwa Pancasila mampu sebagai bintang penuntun sehingga pemberantasan korupsi bisa berjalan dengan penuh kegagahan. Bukan ona-anu-ona-anu saja. Tunjukkan bahwa 600 anggota ISIS yang kembali ke Indonesia itu tidak akan ngaruh apa-apa terkait dengan potensinya di ranah ujung-kiri-kanan itu, sebab bisa ditunjukkan bahwa 600 koruptor kelas kakap telah dihancurkan. Komplit dengan jaringannya. 600 BUMN dan anak-anaknya misalnya, bisa menjadi usaha yang terhormat dan mampu berdaya saing global. Bukan yang diperas sana-sini. Juga misalnya, 600 pengemplang pajak kelas kakap itu telah dibui. Dan seterusnya.

Juga aparat dikelola secara efisien dan efektif. Tidak buang-buang anggaran yang tidak perlu. Tidak buang-buang kata yang tidak perlu. Ona-anu-ona-anu nggak ada mutunya sama sekali. Mikir, cuk! *** (10-02-2020)

Ruang Steril