www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-02-2020

Ketika mesin-mesin tercipta dalam revolusi industri, ia salah satunya menggusur juga pabrik sepatu kayu di Perancis. Para pembuat sepatu kayu itu marah karena penghidupannya tergusur, dan kemudian memasukkan sepatu-sepatu kayu itu ke mesin untuk merusak rantai produksinya. Katanya, kata sabotase berasal dari peristiwa tersebut. Tetapi entah benar soal asal kata itu, kata sabotase sekarang ini tidak jauh dari pengertian tersebut. Suatu yang sedang berjalan, misal rantai produksi, dirusak untuk diganggu keberhasilan suatu proses.

Jika kita melihat bermacam peristiwa yang ada di sekitar atau sesudahnya soal ‘sepatu kayu di Perancis’ itu, maka kita akan menemui misalnya, gelombang-gelombang demokrasi, munculnya bermacam partai politik, termasuk juga komunisme, perang dunia, dan macam-macam lagi. Kata sabotase-pun kemudian mengalami ‘evolusi’ dalam penghayatan. Ia lebih banyak dipakai dalam nuansa perang. Tentu disana-sini kadang masih dijumpai dalam arti terkait ‘sepatu kayu di Perancis’ itu. Dan penghayatan itu tidaklah salah juga, baik menurut kamus atau jika kita rasa-rasakan sendiri.

Jika kita melihat dengan keterbukaan penghayatan, maka sebenarnya kita bisa merasakan, politik yang terbangun selama ini banyak diwarnai dengan ‘nuansa sabotase’ itu. Yang telanjang adalah politik dengan latar belakang ‘sandera kasus’ itu. Bangsa ini dalam ‘rantai proses berkeadilan dan berkesejahteraan’ rasa-rasanya terlalu banyak disabot dengan ‘paradigma’ sandera kasus itu. Kita seakan gagal melahirkan elit-elit yang jumlahnya hanya nol koma nol nol nol sekian persen dari jumlah penduduk itu, yang bebas dari kasus. Yang tidak kemudian berubah menjadi ona-anu-ona-anu karena kasus yang membelitnya.

Atau bagaimana cita-cita soal kedaulatan pangan itu telah bertahun-tahun disabot oleh komplotan tukang impor itu. Dengan ‘bantuan kolega’-nya yang ada di kalangan aparat. Jadilah komplotan oligarki-pemburu rente itu, sebagian dari si-tukang-sabot di ranah cita-cita kedaulatan pangan republik. Sabotase bisa dikatakan lebih pada lapangan proses. Baik proses menuju output atau bahkan proses dalam membangun input. Atau jika kita pakai istilah ‘kepuasan pelanggan’, sebenarnya itu ada dalam proses kepuasan pelanggan, baik itu pelanggan eksternal maupun internal. Atau cobalah kita lihat apa yang ditulis Noreena Hertz dalam bukunya: The Silent Takeover, Global Capitalism and the Death of Democracy (2003). Atau jumpalitannya KPU saat pemilu dan pilpres 2019 lalu. Bahkan sampai beberapa bulan lalu itu.

Menurut Carl Schmitt, adanya politik karena ada pembedaan antara teman dan musuh. Jika kita lihat lebih luas lagi, pembedaan antara teman dan musuh ini bisa mewujud dalam berbagai bentuk. ‘Paling lunak’ adalah kompetisi olah raga. Kemudian meningkat pada kompetisi bisnis, misalnya. Dan ada bentuk lain, politik dan perang. Seperti disebut di atas, sabotase sebenarnya banyak yang menghayatinya ada di ranah perang. Meski juga bisa ditemui juga di kompetisi olah raga, misal sepakbola gajah atau suap menyuap mengatur skor, atau di bidang bisnis. Tetapi di kedua ranah itu biasanya berujung pada pelanggaran hukum. Bagaimana di ranah politik dan perang? Inilah sebenarnya kita bisa melihat kualitas aktor-aktornya, terutama di ranah politik. Mengapa? Karena begitu luasnya ‘pilihan’ untuk melakukan sabotase terhadap lawan (politik). Tentu ranah politik dan perang tidak akan pernah lepas dari sabotase. Terutama ranah perang.

Meski politik tidak akan pernah steril dari taktik sabotase, tetapi taktik ini jika menjadi ‘taktik andalan’ maka sebenarnya kita bisa melihat bahwa aktor-nya adalah level KW. Bahkan mungkin KW2 atau KW3. Level ndèk-ndèk-an, level pokrol bambu. Hal yang mungkin saja tidak kita rasakan karena tidak hanya sudah sedemikian biasanya soal sabot-menyabot ini, tetapi juga karena proses input-nyapun sudah disabot. Ketika sabotase menjadi ‘taktik-andalan’ maka sebenarnya ada yang sedang menghayati politik sebagai perang. Perang dalam arti sesungguhnya. Itulah salah satu konsekuensi ketika tidak mau atau tidak berani memproyeksikan ‘nafsu perang’ di ranah internasional. Sibuk menyabot bangsa sendiri. *** (11-02-2020)

Politik dan Sabotase