www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-02-2020

Globalisasi tidak hanya terjadi sejak beberapa dekade terakhir. Abad 19-pun ada yang mengatakan bahwa globalisasi juga sudah terjadi. Tetapi dengan kemajuan tekhnologi transportasi dan komunikasi, globalisasi yang kita rasakan sekarang ini bisa dikatakan lebih luas dan lebih intens. Bahkan ada yang mengatakan, laksana sebuah juggernaut yang meluncur secara tunggang-langgang, menabrak apa saja yang ada di depannya.

Jika dilihat dari perdagangan internasional dan capital flows, Frederic S. Mishkin melihat bahwa rentang waktu antara 1870-1914 merupakan gelombang globalisasi pertama.[1] Episentrum gelombang globalisasi yang berasal dari Eropa sana, waktu itu. Rentang waktu yang banyak membuat ‘kegugupan’ banyak kalangan. Yang akrab dengan Ajaran Sosial Gereja (Katolik) segera akan bisa menghayati nuansa pernak-pernik di belakang gelombang globalisasi itu, yang mana jauh sebelumnya, Revolusi Industri telah mengubah bermacam tatanan sosial, dan gereja waktu itu banyak ditinggal umatnya karena tidak mampu menjawab tantangan atau kondisi yang dialami kaum pekerja. Rerum Novarum, ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII di tahun 1891 muncul dalam nuansa seperti itu.

Tidak hanya ‘kegugupan’ ketika banyak umatnya meninggalkan gereja waktu itu karena terjangan segala dampak Revolusi Industri pada para pekerjanya, tetapi mungkin juga adanya sinyalemen dari Marx bahwa ‘religion is the opium of the people’. Rerum Novarum mungkin berusaha menjawab itu semua, dan menegaskan bahwa gereja juga mampu menjawab realitas yang berkembang melalui ajaran-ajaran sosialnya. Mungkin kalau Marx hidup sekarang, ia akan juga mengatakan ‘ngibul is the opium of the people’. Intinya adalah, menurut Marx: bukan kesadaran yang menentukan realitas, tetapi realitaslah yang menentukan kesadaran. Benarkah sedemikian deterministiknya?

Gelombang globalisasi itu juga ikut menabrak Hindia Belanda saat itu, yang digambarkan oleh Bung Karno dengan gaya tulisan khasnya, dan gambaran si-Bung kemudian menunjukkan bahwa itu berujung pada Politik Pintu Terbuka. Dan bukankah periode 1965-1966 itu adalah juga episode Politik Pintu Terbuka? Juga 1998? Dan juga Omnibus Law yang sekarang kita hadapi ini?

Juggernaut itu ternyata selalu lekat dengan para pemboncengnya. Yang sigap segera naik memboncengnya adalah para inisiator Konsensus Washington itu. Dan segeralah itu ‘dibaptis’ sebagai jaket-ketat yang harus dipakai supaya tidak terlindas si-juggernaut. Apapun itu, realitas sudah berkembang sedemikian rupa, dan kita sebagai bagian dari ‘komunitas global’ tidak akan bisa menghindar. Dan tentu kemudian masalahnya adalah, jika tidak bisa menghindar terus apa? Ya ikut membonceng, ikut berselancar di atas gelombang itu. Maka pertanyaan lanjutnya adalah, bagaimana supaya mempunyai kemampuan ikut berselancar? Padahal faktanya, kita sering tidak diikutkan dalam menabuh genderangnya.

Maka apa yang ditulis Sun Tzu dalam The Art of War kiranya akan sangat membantu: “If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle.” Kita ada di mana? *** (14-02-2020)

 

[1] Frederic S. Mishkin, The Next Great Globalization, Princeton University Press, 2006, hlm. 2

Juggernaut, Omnibus, dan Kita