www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-02-2020

Frasa ‘efisiensi berkeadilan’ menyeruak masuk dalam amandemen UUD 1945. Hasil kompromi dari para ahli kubu ‘berkeadilan’ dan ‘efisiensi’? Kubu Mubyarto vs kubu Sri Mulyani (saat itu masih ‘yunior’)?

How many people will in fact die if this hospital is shut down?” Sanders asked. “We say human life is more important than corporate profits,” demikian Bernie Sanders di pertengahan 2019, dan sedang berjuang menuju pemilihan presiden AS melalui Partai Demokrat.[1] Jika kita lihat bagaimana demokrasi di AS berkembang, mungkin ada hal 'sederhana' yang bisa kita tangkap. Salah satunya, ketika ‘kubu efisiensi’ menang, maka ‘kubu berkeadilan’ akan melakukan kritik totalnya. Demikian juga sebaliknya. ‘Jenis kelamin’ antara dua kubu (dominan) sudah jelas. Tentu pernak-pernik akan banyak ditemui, atau pergeseran-pergeserannya. Contoh, dulu yang mungkin ada di sebelah ‘kanan’ sekarang mungkin sudah dihayati sebagai yang ‘kiri’. Atau paling tidak ‘tengah’. Antara penekanan bahwa individu-individu harus bersikap rasional, efisien, karena mereka bertanggung jawab atas dirinya mereka sendiri, dengan bagaimana-pun individu-individu itu ada dalam hidup bersama.

Untuk memungkinkan ‘mekanisme mawas diri’ ini dapat berkembang maka dalam banyak hal bisa kita lihat bagaimana segala prosedur pemilihan maupun bagaimana setelah pemilihan di AS itu, menampakkan upaya keras untuk mencegah munculnya suatu kekuatan yang cenderung otoriter. Jika otoriter, bagaimana mau mawas diri? Pembatasan masa jabatan misalnya, dan lainnya. Termasuk juga kebebasan pers dan kebebasan bagi warganya untuk berserikat. Yang kedua adalah, sejatinya mereka adalah sungguh ‘ideologis’. Dalam arti apa yang menjadi pandangan dasar mereka tidak hanya muncul dalam ‘adu argumentasi’ atau pidato berbusa-busa, tetapi betul-betul muncul dalam kebijakannya jika berkuasa. Di tempat lain: lapar rèsèk ... kenyang bego .... Memuakkan! Ketika sebagai oposisi, menangis-nangis berlagak membela wong cilik ketika subsidi dikurangi, tetapi setelah berkuasa? ‘Rajanya’ pencabut subsidi! Persis: lapar-rèsèk-kenyang-bego itu. Maka ideologi-pun hampir tidak bisa dibedakan dengan ngibul, karena sama-sama tidak bisa di-cek dalam kebijakan maupun tindakannya.

Jika hal otoriter ini dikaitkan hal mawas diri maka bisa dikatakan bahwa otoriter itu ya ketika mawas diri menjadi tidak mungkin lagi. Atau di level minimal, level ‘hiburan’. Di masa lalu, mawas diri menjadi hampir tidak mungkin karena todongan senjata. Berbeda bisa-bisa langsung dijemput aparat. Lain era, mawas diri itu menjadi semakin menjauh karena penguasa yang ‘mbudeg’, menulikan dirinya. Tidak hanya ‘mbudeg’, tetapi semau-mau-nya seakan rakyat itu tidak nyata. Atau dianggap ada hanya saat coblosan saja. Itupun masih dibayang-bayangi kecurangan yang TSM itu. Di masa lalu mungkin ada ‘kenangan-heroik’ melawan todongan laras panjang. Di lain era mungkin lebih menyakitkan: dianggap tidak ada!

Semau-mau-nya jelas akan dekat dengan ugal-ugalan, dan cerita selanjutnya: inefisiensi. Atas nama pasar bebas ala neoliberalisme, rakyat diminta dapat berlaku rasional, efisien, karena harus bertanggung jawab penuh atas nasibnya sendiri. Bertarung sendiri. Jangan sampai ada ‘distorsi pasar’. Makanya, subsidi terus dikurangi, salah satunya. Benarkah begitu? Bukankah kita sedang menemui apa yang dikatakan oleh David Harvey, bahwa neoliberalisme itu adalah ‘the restoration of class power’? Kelas orang dengan big money, big corporate. Pasca Perang Dunia II dengan welfare state kapitalisme mengalami 'masa emas'nya, tetapi bagi korporasi seakan kaki diikat karena isu kesejahteraan umum. Maka di awal dekade 1970 dengan ‘latihan’ dulu kebijakan dari Chicago Boys di Chile setelah penggulingan Allende, persiapan dimatangkan. Dan merebak setelah Thatcher dan Reagen naik ke puncak kekuasaan. Cerita selanjutnya dapat diduga: isu ‘kesejahteraan umum’-pun digempur habis-habisan. Persis yang sekarang ini, Bernie Sanders mengungkap anti-tesisnya seperti dikutip di atas.

Tetapi di sebuah republik, banyak khalayak-pun semakin terusik. Khalayak dituntut untuk efisien, tetapi yang duduk di kekuasaan itu menampakkan diri untuk tanpa sungkan lagi ugal-ugalan, inefisien. Baik dalam tindakan maupun ujaran. Terus-menerus seakan rakyat sedang diterjang ‘gelombang-inefisiensi’. Otak dan hati diminta minggir dulu. Bangsat! *** (18-02-2020)

 

[1] https://www.commondreams.org

/news/2019/07/15/human-life-more-important-corporate-profits-sanders-joins-community-stop-financial

Tontonan Ketidakefisienan