www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-02-2020

Jika kita memakai Alegori Kereta Perang-nya Platon, Pancasila adalah sesuatu dimana ‘kebaikan para dewa-dewa’ itu menjadi arah tujuan sais mengarahkan kereta perangnya. Naik ke atas. Pancasila tidak memberikan resep atau ‘rute pakem’ apalagi berposisi sebagai ‘agama sekuler’ seperti layaknya pendekatan dialektik-materialisme pada sebagian pengikut-pengikutnya. Atau ‘agama-agama sekuler’ lainnya. Atau ‘semi-agama-sekuler’[1] a la P4 itu.

Di banyak komunitas bangsa, penghayatan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa sudah menjadi bagian dari keseharian. Demikian juga soal kemanusiaan dan keberadaban. Juga penghayatan akan persatuan dan sekaligus demokrasi. Apalagi soal keadilan sosial. Kita juga bisa mengatakan bahwa hal-hal tersebut ada bersemayam dalam nilai-nilai hidup bersama di nusantara. Yang berbeda adalah, kelima nilai yang sering kita sebut sebagai Pancasila itu, ada dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang bicara soal negara Republik Indonesia dan pemerintah negara Indonesia. Dan sekaligus merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dengan keseluruhan Pembukaan UUD 1945, yang secara tegas dibuka dengan hal kemerdekaan, perikemanusiaan, dan perikeadilan.

Kelima nilai-nilai yang ada di Pancasila itu jelas bukanlah keseluruhan dari bermacam nilai-nilai yang dihayati oleh khalayak. Tetapi pendahulu kita menyepakati itulah nilai-nilai yang mestinya tidak hanya dikejar, tetapi juga sebagai dasar bagi negara Republik Indonesia dan pemerintah Indonesia. Di masyarakat, nilai-nilai lain silahkan tetap berkembang, entah nilai-nilai yang dibimbing oleh agama, sopan-santun, adat-istiadat, tradisi, dan lain-lainnya. Tetapi soal perilaku negara, kebijakan-kebijakan negara, dalam hal ini yang dibuat oleh penyelenggara negara, maka ia harus mencerminkan atau dituntun oleh kelima nilai tersebut.

Pada bagian akhir dari The End of Ideology, Daniel Bell menyinggung bahwa ‘the driving force of the old ideologies were social equality, and, in the largest sense, freedom. The impulsions of the new ideologies are economic development and national power.[2] Masih menurut Bell, the new ideologies itu akan lebih banyak dimotori oleh Asia dan Afrika serta didorong oleh political leaders dari pada sosok intelektual seperti pada the old ideologies. Dan itu ditulis Bell di tahun 1960-an. Apa yang bisa kita pelajari dari pandangan Bell ini?

Jika kita membayangkan ada di tahun 1960-an, mungkin kita bisa membayangkan bermacam lanskap hidup sosial, dari yang di ujung kanan maupun kiri, dari monarki, fasisme sampai demokrasi, dari depresi besar sampai dengan responnya, dan bermacam lagi. Perjuangan kemerdekaan sampai dengan berkembangnya nasionalisme. Perang-perang besar yang terjadi. Berkembangnya telegram, telepon, radio, sampai televisi. Dari sepeda, kereta api, sepeda motor, mobil, sampai pesawat jumbo jet. Dengan segala ‘biaya-biaya’ sejarahnya, dan manfaat bagi perkembangan hidup bersama. Terbunuhnya jutaan manusia dan meningkatnya kesejahteraan. Naiknya harapan hidup. Kemampuan menangani bermacam penyakit, tetapi sekaligus munculnya masalah kesehatan baru.

Maka masalahnya adalah bukan pada soal mengubur the old ideologies dalam-dalam sepertihalnya mengubur limbah nuklir, tetapi yang penting adalah mengenali batas-batas-nya. Persis seperti yang sudah diingatkan Machiavelli.[3] Dan di sinilah peran political leaders akan lebih menonjol. Karena ia akan berhadapan dengan politik riil, politik yang akan berurusan dengan sesuatu yang masih bisa digapai. Politik yang berurusan dengan batas-batas.

Di beberapa negara, batas-batas itu tidak hanya mengandalkan kualitas political leaders yang mak-nyus layaknya mendekati si-filsuf raja, tetapi juga ia dikontrol langsung dalam nafas ‘pembedaan antara lawan dan kawan’ yang jelas. Dua partai atau dua koalisi partai dominan.

Dari hal-hal di atas jika kemudian ada yang mengatakan bahwa politik sebaiknya diletakkan pada satu postulat, yaitu postulat tenaga penggerak adalah tidak berlebihan. Pada manusia-manusia kongkret-lah pada akhirnya economic development dan national power, meminjam Daniel Bell di atas, itu akan tercapai. Rizal Ramli misalnya, ia adalah manusia kongkret yang mampu melihat batas-batas dari bermacam pandangan ekonomi, dan dengan melihat realitas yang berkembang dan tantangan ke depan, ia mampu membangun satu langkah-langkah yang tepat. Ini sebagai contoh. Dan diperlukan lagi lebih banyak RR-RR lainnya. Supaya lapangan yang disediakan oleh Pancasila untuk adu argumen tersebut dapat betul-betul diisi dengan hal-hal yang produktif dan berkualitas. Dengan didorong oleh sayap-sayap yang ada di kanan-kiri kereta perang[4]: dalam konteks ini, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu. Bukannya soal ‘salam’ atau ‘tik-tok’ itu. *** (27-02-2020)

 

[1] semi, karena menjadi ‘legitimasi sekunder’

[2] Daniel Bell, The End of Ideology, On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties, Harvard University Press, 2000, hlm. 403

[3] Lihat, https://www.pergerakankebangsaan.

com/511-Pancasila-dan-Berakhirnya-Ideologi-1/

[4] Dalam Alegori Kereta Perang-nya Platon

Pancasila dan Berakhirnya Ideologi (2)

gallery/plato wings